Jakarta, Harian Umum - Banyak sekali kebijakan di era pemerintahan Joko Widodo yang menimbulkan dampak negatif bagis sistem ketatanegaraan, soal kemasyarakatan dan bahkan lingkungan.
Kebijakan-kebijakan yang merusak itu, menurut Pengamat Intelijen dan Geopolitik Amir Hamzah mulai dipreteli oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
'Saat ini Prabowo dengan telaten sedang membangun citra pemerintahan yang sepenuhnya baru. Penghapusan beberapa kebijakan Jokowi bukan sekadar soal efektivitas kebijakan, melainkan bagian dari strategi politik yang lebih besar untuk menghilangkan pengaruh Jokowi dari panggung nasional," kata Amir kepada media, kemarin.
Ia menyebut sedikitnya ada tiga kebijakan Jokowi yang telah dipreteli Prabowo.
1. Pencabutan Izin Ekspor Pasir Laut
Salah satu kebijakan kontroversial Jokowi adalah membuka kembali keran ekspor pasir laut yang sebelumnya dilarang sejak tahun 2003. Kebijakan ini menuai kritik dari kelompok lingkungan, akademisi, hingga nelayan pesisir. Di awal masa pemerintahannya, Prabowo membatalkan izin tersebut dengan alasan perlindungan lingkungan hidup dan kepentingan jangka panjang nasional.
“Langkah Prabowo ini bukan hanya untuk menjawab keresahan publik, tapi juga menjadi simbol bahwa ia tidak ingin tunduk pada warisan kebijakan yang dianggap problematik,” kata Amir.
2. Pembubaran Satgas Saber Pungli Siber
Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) dan unit-unit sibernya merupakan inisiatif Jokowi dalam memerangi Puungli di berbagai sektor pemerintahan. Namun, kinerja Satgas ini terbukti tidak efektif, seakan hanya untuk pencitraan semata bahwa pemerintahan Jokowi peduli pada Pungli yang meresahkan, tetapi juga overlapping dengan institusi yang ada.
“Dengan hilangnya Satgas ini, secara eksplisit Prabowo ingin memaksimalkan kinerja lembaga penegak hukum seperti Polri dan KPK, dan juga seolah ingin menyederhanakan struktur kekuasaan serta menyatukan arah kebijakan penegakan hukum di bawah kendali yang lebih terpusat,” jelas Amir.
3. Pemilu Nasional dipisahkan dari Pemilu Lokal
Pelaksanaan Pemilu Serentak yang menyatukan Pileg, Pilpres dan Pilkada telah memicu kekacauan pada sistem ketatanegaraan karena memunculkan pelaksana tugas-pelaksana tugas (Plt) di daerah-daerah yang Pilkadanya ditunda atau dipercepat agar Pemilu bisa serentak dilaksanakan.
Selain itu, Beban KPU dan Bawaslu beserta jajarannya pun semakin berat, sehingga banyak KPPS yang meninggal dunia.
Pada Jumat (27/6/2025), berdasarkan gugatan Perludem yang diregistrasi sebagai perkara dengan nomor 135/PUU-XXII/2024, Mahkamah Konstitusi mengakhiri penerapan Pemilu Serentak dengan memisahkan Pemilu Nasional (Pilpres dan Pileg DPR RI) dengan Pemilu Lokal (Pilkada dan Pileg DPRD).
Amir menilai, dengan dipisahkannya Pemilu Nasional dengan Pemilu Lokal, permasalahan yang muncul selama Pemilu Serentak diterapkan, akan hilang, dan pelaksanaannya pun akan dapat lebih baik dibanding Pemilu Serentak
Amir menilai, Prabowo "bermain politik cantik" karena dia sangat memahami karakter Jokowi yang cenderung menghindari konflik terbuka.
“Jokowi bukan tipe konfrontatif. Ia tidak suka ribut, dan Prabowo tahu betul itu. Karena itu, Prabowo memilih jalan ‘sunyi’ dalam menghapus pengaruh Jokowi. Bukan dengan serangan langsung, tetapi dengan perombakan sistematis,” katanya.
Ia melihat banyak manfaat positif dari “politik cantik” yang dimainkan Prabowo, karena dengan pendekatan strategis yang tidak menciptakan kegaduhan publik seperti itu, berdampak tetap besar terhadap struktur kekuasaan. Dalam konteks ini, penghapusan warisan Jokowi bisa dilihat sebagai shadow purge, atau pembersihan pengaruh politik secara halus.
“Ini bukan pembalasan, ini kalkulasi. Prabowo bukan orang yang akan menyimpan dendam secara terbuka, tetapi ia paham betul bagaimana menjaga dominasinya di tengah sisa-sisa kekuasaan lama,” jelas Amir. (rhm)