GIBRAN tetap berada di ujung tanduk karena rakyat tetap mengkritisi lolosnya Gibran atas rekayasa dan peran Paman Anwar Usman.
----------------------------
Oleh: M Rizal Fadillah
Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi ( MKMK) pada hari Selasa 7 November 2023 telah mengakhiri sidang pemeriksaan terhadap Hakim MK dengan membacakan outusan yang pada pokoknya memberhentikan Anwar Usman dari jabatan ketua MK, menyatakan Saldi Isra tidak melanggar soal dissenting opinion, memberi sanksi teguran tertulis kepada Arif Hidayat serta sanksi teguran lisan kepada enam hakim lainnya.
Seluruhnya secara kolektif dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran kode etik meski dengan tingkat pelanggaran beragam dan bertingkat.
Disamping itu MKMK menyatakan tidak berwenang untuk menilai putusan MK dan menegaskan bahwa pasal 17 ayat (6) dan ayat (7) tidak berlaku bagi hakim MK. Saldi Isra ditetapkan untuk memimpin pemilihan Ketua MK baru. Perubahan Putusan menjadi kewenangan MK, bukan MKMK.
Putusan MKMK dinilai lunak karena untuk kategori "pelanggaran berat kode etik dan perilaku hakim" semestinya Anwar Usman bukan hanya diberhentikan dari jabatan ketua MK, tetapi sesuai UU No 48 Tahun 2009 dan PMK No 1 Tahun 2023 pasal 41 c dan 47 maka sanksi yang layak adalah "diberhentikan dengan tidak hormat".
Putusan MKMK dinilai inkonsisten, karena di satu sisi tidak berwenang menilai putusan MK, akan tetapi di sisi lain MKMK menilai dan menafsirkan bahwa ketentuan pasal 17 ayat (6) dan ayat (7) tidak berlaku bagi hakim MK. Darimana kewenangan MKMK yang berada di area "etik" masuk ke penafsiran UU tentang Kekuasaan Kehakiman?
Meski demikian, Gibran tetap berada di ujung tanduk karena :
Pertama, jika pasal 17 ayat (5) berlaku dan menjadi alasan konflik kepentingan Anwar Usman terhadap Gibran, mengapa ayat (6) tidak berlaku. Padahal, kedua ayat tersebut berada dalam "satu paket" atau sangat berkaitan erat? Hakim MK dapat mengabaikan putusan MKMK.
Kedua, MK dengan komposisi baru nanti berhak untuk melakukan pemeriksaan ulang untuk membatalkan putusan 90/PUU-XXI/2023, apalagi putusan tersebut sangat kontroversial karena "hanya" didukung oleh 3 (tiga) dari 9 (sembilan) hakim. Putusan demikian adalah rekor putusan terburuk di dunia.
Gibran tetap berada di ujung tanduk karena rakyat tetap mengkritisi lolosnya Gibran atas rekayasa dan peran Paman Anwar Usman. Nepotisme itu sangat terang benderang terjadi di depan mata. Anwar Usman sendiri di samping terkena sanksi administrasi, juga terancam sanksi pidana sebagaimana ketentuan UU No 28 Tahun 1999 pasal 22.
Gibran yang berada di ujung tanduk membawa konsekuensi bahwa Prabowo pun berada di ujung tanduk. Jika MK "baru" melakukan perubahan pada putusan No. 90/PUU-XXI/2023, maka akan berakibat rontok atau batal pasangan Prabowo-Gibran.
Rakyat akan terus mendesak MK "baru" untuk segera mengoreksi putusan kontroversial, memalukan dan memilukan tersebut. Kembalikan kewarasan cara berhitung bahwa 3 (tiga) lawan 6 (enam) itu yang menang adalah 6 (enam) bukan 3 (tiga)!
Bandung, 8 Nopember 2023