Jakarta, Harian Umum- Presiden Jokowi dinilai tidak konsisten dengan janji membangun infrastruktur sumber daya air (SDA) yang diucapkan saat kampanye Pilpres 2014.
Pasalnya, meski Jokowi sempat melaunching Proyek Tol Laut, namun hingga umur pemerintahannya mencapai 3,5 tahun, pembangunan sektor ini ternyata tidak menjadi program prioritas.
"Saat kampanye Pilpres 2014, Jokowi menjanjikan pembangunan/perbaikan irigasi di 3 juta hektare sawah, dan pembangunan 25 bendungan, namun di dalam dokumen Nawa Cita "Visi, Misi dan Program Aksi Jokowi Jusuf Kalla 2014", tidak tercatat ada janji pembangunan infrastruktur SDA," jelas Tim Studi Network for South East Asian Studies (NSEAS) Muchtar Effendi Harahap melalui siaran tertulis kepada harianumum.com, kemarin.
Aktivis ini mencatat, sejak dilantik menjadi presiden RI ke-7 untuk periode 2014-2019 pada 20 Oktober 2014, Jokowi mencanangkan pembangunan 1 juta hektare irigasi baru dan rehabilitasi 3 juta hektare irigasi.
Untuk irigasi dengan luas di atas 3.000 hektare, pembangunannya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen-PUPR), sementara irigasi dengan luas 1.000-3.000 hektare tanggung jawab diserahkan kepada pemerintah provinsi (Pemprov) dan irigasi di bawah luas 1.000 hektare diserahkan kepada pemerintahan kabupaten dan kota.
Dengan pembagian tersebut, berdasarkan data dari Dirjen SDA Kemen-PUPR, maka luas irigasi yang menjadi kewenangan Kemen-PUPR mencapai 561.173 hektare (56,12 %), sementara yang menjadi kewenangan Pemprov 236.374 hektare (23,64 %), dan yang menjadi kewenangan Pemkab/Pemkot 202.453 hektare (20,25 %).
"Hingga Mei 2017, realisasi Kemen-PUPR sudah mencapai 43,91%, sementara progres Pemprov baru 7,05% dan realisasi Pemkab/Pemkot hanya 8,55%. Bila dihitung dari target total 1 juta hektare, baru tercapai 28,04%," imbuh Muchtar.
Untuk perbaikan jaringan irigasi rusak, dari target 3 juta hektare, yang menjadi tanggung jawab Kemen-PUPR seluas 1,3 juta hektare dan telah selesai direhab seluas 961 ribu hektare (70,14 %).
Rehabilitasi yang dilakukan Pemprov, Pemkab/Pemkot baru 136 ribu hektare atau hanya sekitar 8% dari target 1,7 juta hektare.
Mengacu pada RPJMN 2015-2019, ada rencana strategis dan sasaran terkait infrastruktur SDA. Yang direncanakan pemerintahan Jokowi-JK akan dilaksanakan antara lain:
1. Percepatan persiapan dan pelaksanaan pembangunan tampungan air skala kecil/menengah (embung, waduk lapangan, kolam dan situ) pada daerah krisis dan wilayah strategis.
2. Merehabilitasi waduk, embung, dan bangunan penampungan air lain untuk mengembalikan fungsi dan kapasitas tampung.
3. Membangun 49 Waduk, yaitu: Waduk Keureuto, Rukoh, Tiro, Jambu Aye di Aceh; Lausmeme di Sumut; Lompatan Harimau di Riau; Komering 2 di Sumsel; Sukoharjo, Segalaminder, Sukaraja III di Lampung; Karian, Sindangheula di Banten; Ciawi, Sukamahi, Cipanas, Leuewikiris, Sadawarna, Sukahurip di Jabar; Bener, Kalangtalun di Yogyakarta; Logung, Matendeng diJateng; Semantok, Bagong, Lesti, Wonodadi di Jatim; Bintan Bano, Tanri dan Mila, Mujur, Krekeh, Meninting di NTB; Tapin di Kalsel; Lasongi, Pelosika di Sultra; Bonehulu di Gorontalo; Lolak, Kuwil di Sulut; Marangkayu, Tritip di Kaltim; Karaloe, Paseloreng, Pamukulu, Jenelata di Sulsel; Way Apu di Maluku; dan Raknamo, Kolhua, Ritiklod, Napunggete, Temef di NTT.
"Sudah berapa banyak dari 49 waduk ini dibangun? Tentu saja para Warga di sekitar lokasi waduk bisa lihat langsung kenyataan obyektifnya. Kita tunggu akhir 2019, seberapa keberhasilan Jokowi merealisasikan rencananya sendiri di sektor infrastruktur SDA ini, namun Tim Studi NSEAS memprediksi Jokowi akan gagal merealisasikan rencana ini karena hingga kini belum ada indikasi kemajuan pembangunan 49 waduk tersebut," tegas Muchtar.
Sesuai Renstra 2015-2019, rencana pembangunan infrastruktur SDA pemerintahan Jokowi-JK antara lain meliputi;
1. Pembangunan dan peningkatan fungsi dan kondisi sarana dan prasarana pengamanan pantai sepanjang 530 kilometer
2. Normalisasi sungai dan pembangunan/peningkatan tanggul sepanjang 3.080 kilometer
3. Peningkatan luas kawasan terlindungi dari daya rusak air seluas 200 ribu hektare.
"Target-target versi Renstra 2015-2019 Kemen-PUPR masih belum terealisir. Kita masih harus menunggu terbitnya data realisasi yang akurat," imbuh Muchtar.
Meski demikian ia mengatakan, progres pembangunan infrastruktur SDA di 3,5 tahun pemerintahan Jokowi ini dapat dibandingkan dengan prestasi yang dicapai di era pemerintahan SBY sebagai standar kriteria penilaian kritis terhadap kinerja Jokowi mengurus infrastruktur SDA.
Pada periode 2010-2014, Presiden SBY berhasil melaksanakan:
1. Pembangunan 28 waduk, 7 diantaranya selesai pd 2014.
2. Pembangunan 1.332 embung/situ/bangunan penampung air lainnya.
3. Rehabilitasi 82 waduk dan 342 embung/situ/bangunan penampung air lainnya.
4. Operasi dan pemeliharaan 1.207 waduk, embung, situ dan bangunan penampung air lainnya.
5. Konservasi 36 kawasan sumber daya air.
"Di era Jokowi yang sudah memasuki 3,5 tahun masih belum mampu menunjukkan prestasi melewati atau mendekati prestasi SBY. Sekalipun secara vokal, Pemerintahan Jokowi-JK boleh bilang optimis akan berhasil, tetapi 3,5 tahun pengalaman selama ini tentu membuat kita pesimis Jokowi berhasil mengurus infrastruktur SDA," jelas Muchtar lagi.
Ia menambahkan, hal ini tak berbeda dengan kondisi kinerja Jokowi mengurus Tol Laut, dan jalan/jembatan.
"Intinya, pembangunan infrastruktur SDA di era Jokowi ini lebih diutamakan pada pembangunan jalan dan jembatan, pelabuhan laut dan juga pelabuhan udara. Infrastruktur SDA tidak menjadi perhatian, apalagi prioritas pembangunan," pungkasnya.
Seperti diketahui, Program Tol Laut merupakan konsep pengangkutan logistik kelautan yang dicetuskan Presiden Jokowi untuk menghubungkan pelabuhan-pelabuhan besar di Nusantara, sehingga dengan adanya hubungan antara pelabuhan-pelabuhan laut ini, maka dapat diciptakan kelancaran distribusi barang hingga ke pelosok.
Namun dalam sebuah diskusi pada 25 Maret 2017 di Jakarta, anggota DPR yang juga pengusaha pelayaran dan galangan kapal, Bambang Haryo, menyebutkan ada tiga kelemahan utama program ini yang membuatnya gagal mencapai sasaran, yakni menekan harga logistik di level konsumen.
Kelemahan pertama adalah adanya persepsi tidak tepat bahwa Tol Laut merupakan pelayanan pelayaran anyar. Padahal, sesungguhnya secara praktik tol laut sudah sejak lama dilaksanakan oleh perusahaan pelayaran anggota INSA, pelayaran rakyat dan perusahaan kapal penyeberangan anggota Gapasdap.
“Mereka itu sesunguhnya mempraktikkan konsep tol laut. Berperan besar dalam transportasi laut logistik. Hanya saja memang tidak pernah mendeklarasikannya. Jadi Tol Laut yang dimaksud pemerintah itu hanya bentuk dari penamaan saja,” jelas politisi Partai Gerindra itu.
Kelemahan kedua, karena pelayaran eksisting tidak dianggap Tol Laut, maka pemerintah membangun konsep Tol Laut antara lain dengan membangun armada sendiri dan menskemakan subsidi operasionalnya.
"Sangat besar dana APBN dihabiskan untuk menyubsidi pelayaran armada Tol Laut. Padahal kalau subsidi ini dialokasikan untuk pelayaran eksisting, justru lebih tepat sasaran. Pemerintah tidak perlu mengalokasikan dana APBN untuk membangun kapal Tol Laut,” jelasnya.
Akhirnya yang terjadi adalah, lanjut dia, perusahaan pelayaran eksisting dibenani berbagai pungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) oleh Kementerian Perhubungan di tengah melesunya market transportasi laut di dalam dan luar negeri.
Kelemahan ketiga, pemerintah terlalu berkutat dalam usaha memperkuat di hulu, bukan hilir.
“Pengangkutan menjadi lebih mudah dan biaya transportasi menjadi rendah, namun rendahnya biaya transportasi ini tidak otomatis menekan harga logistik di pasar,” jelasnya.
Pengurangan biaya transportasi, menurut Bambang, justru menjadi komponen penambahan keuntungan untuk pengusaha logistik.
“Pengusaha atau pedagang rente ini tak lantas menurunkan harga barang setelah biaya logsitik berkurang. Di sejumlah tempat tampak harga di tingkat konsumen tetap tinggi. Bahkan ternyata harga komoditas di daerah yang dilayani Tol Laut malah lebih mahal dibandingkan dengan harga daerah yang tidak dilayani Tol Laut,” tuturnya.
Karena persoalan-persoalan ini, Pemerintah kemudian mengevaluasi Tol Laut agar lebih ampuh menekan disparitas harga antarpulau di Tanah Air. (rhm)