Jakarta, Harian Umum - Nama Presiden ke-7 Joko Widodo alias Jokowi terseret-seret dalam kasus dugaan korupsi kuota haji yang diduga melibatkan mantan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas.
Nama Jokowi terseret karena kuota haji yang sedang diusut KPK adalah Kouta haji yang didapatkan Indonesia sebanyak 20 ribu setelah Jokowi terbang ke Arab Saudi.
Kuota haji itu dilaksanakan pada saat pelaksanaan haji 2024 yang dipimpin Yaqut.,
"Yang lagi ditelaah KPK itu yang di 2024. Itu kan yang ada penambahan kuota itu kan? Ketika Pak Jokowi ke Saudi, di mana Indonesia dapat penambahan kuota 20 ribu," kata Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (10/7/2025).
Ia menjelaskan, dugaan korupsi terjadi pada pembagian kuota antara haji reguler dan haji khusus, karena kuota haji yang seharusnya dipakai untuk jemaah reguler, malah dialokasikan ke jemaah khusus.
"Nah itu saja dari situ ada dugaan antara pembagian antara haji reguler dengan khusus. Ini sepertinya kurang pas atau tidak sesuai dengan undang-undang yang seharusnya mengatur itu. Ya, mestinya untuk reguler tapi digunakan khusus. Itu saja sih," imbuh Fitroh.
Awal terungkapnya kasus
Seperti diberitakan sebelumnya, KPK sedang mengusut dugaan korupsi penentuan kuota haji pada era Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Kasus ini dilaporkan ke KPK oleh lima pihak, yakni Gerakan Aktivis Mahasiswa UBK Bersatu (GAMBU), Front Pemuda Anti-Korupsi, Mahasiswa STMIK Jayakarta, Aliansi Mahasiswa Pemuda untuk Keadilan Rakyat (AMALAN Rakyat), dan Jaringan Perempuan Indonesia (JPI). Mereka melapor pada awal Agustus 2024.
Menurut Koordinator AMALAN Rakyat, Raffi, perkara ini bermula dari kesepakatan Yaqut dengan Panja Haji DPR terkait Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 2024 dalam rapat tanggal 27 November 2023. Disepakati pula bahwa kuota haji Indonesia tahun 2024 sebanyak 241.000 jemaah dengan rincian 221.720 jemaah reguler (92%) dan 19.280 jemaah khusus (8%).
Namun, dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi VIII DPR bersama Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah pada 20 Mei 2024, terungkap bahwa Kemenag secara sepihak menetapkan kuota haji reguler menjadi 213.320 jemaah (88,5%) dan kuota haji khusus naik menjadi 27.680 jemaah (11,5%). Artinya, terdapat pengalihan sebanyak 8.400 kuota dari jemaah reguler ke jemaah khusus, tanpa persetujuan DPR.
Menurut Raffi, kebijakan itu melanggar UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah, yang menetapkan kuota haji khusus maksimal hanya 8 persen dari total kuota nasional.
Penyimpangan ini membuat DPR membentuk Pansus Angket Haji untuk mengetahui bagaimana hal itu terjadi. Berdasarkan penyelidikan pada 19 Agustus hingga 24 September 2024, Pansus mendapatkan sembilan temuan yang diungkap ketua Pansus Nusron Wahid pada tanggal 30 September 2024.
1. Secara kelembagaan, Kemenag dalam menyelenggarakan ibadah haji masih berperan double, yakni sebagai regulator sekaligus operator, sementara di sisi lain,dalam pelaksanaan ibadah haji di Arab Saudi tidak lagi menggunakan pendekatan government to government, melainkan berubah menjadi government to business. Akibatnya, pelayanannya yang diberikan kepada pihak syarikah dengan menggunakan kerangka bisnis..
2. Terkait kebijakan, Pansus menemukan dugaan ketidakpatuhan dalam penetapan kuota haji khusus sebesar 8 persen. Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah juga diduga melanggar ketentuan dengan mengajukan pencairan nilai manfaat pada 10 Januari 2024, sebelum Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 130 Tahun 2024 diterbitkan pada 15 Januari 2024.
3. Soal distribusi kuota haji, Pansus menemukan adanya celah dalam pengisian kuota jemaah yang membutuhkan pendamping, penggabungan, dan pelimpahan porsi, termasuk kasus pendamping yang bukan mahram. Kemenag juga belum menyelesaikan 5.678 porsi kuota “batu", yaitu kuota reguler yang tidak jelas keberadaan jemaahnya.
4. Terdapat ketidaksinkronan antara Keputusan Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Nomor 118 Tahun 2024 dan surat edaran Direktur Bina Haji Khusus Nomor B-116038 terkait pengisian sisa kuota haji khusus. Keduanya dianggap bertentangan dengan Pasal 65 ayat (2) UU No 8 Tahun 2019.
Pansus juga menyoroti lemahnya pengawasan internal oleh Inspektorat Jenderal Kemenag terkait pembagian kuota tambahan haji 2024.
5. Sistem Siskohat dan Siskopatuh tidak diaudit secara berkala dan dapat diakses banyak pihak, sehingga terjadi perubahan data jemaah.
Terkait pendaftaran, terdapat praktik pemberangkatan 3.503 jemaah haji khusus tanpa antre yang berangkat di tahun yang sama, akibat ketentuan KMA No 226 Tahun 2023, KMA No 1063 Tahun 2023, dan Keputusan Dirjen PHU No 118 Tahun 2024.
Ketentuan Pasal 65 ayat (3) UU No 8 Tahun 2019 yang mengharuskan pemenuhan kuota haji khusus berdasarkan usulan PIHK dan kesiapan jemaah juga diduga dilanggar.
6. Nilai manfaat dari jemaah yang masih mengantre digunakan oleh jemaah yang belum berhak berangkat.
7. Jemaah lunas tunda yang jumlahnya 30 persen dari kuota nasional tidak mendapatkan prioritas keberangkatan karena adanya penggabungan dengan jemaah Lansia dan disabilitas, yang menimbulkan ketidakadilan.
8. Pengawasan Kemenag terhadap keberangkatan dan kepulangan jemaah haji khusus oleh PIHK masih lemah dan tidak dilaporkan ke DPR RI.
9. Pelayanan di Arafah, Muzdalifah dan Mina dinilai tidak sesuai dengan ketentuan kontrak dan standar pelayanan yang dijanjikan. (man)