Yogyakarta, Harian Umum - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak untuk seluruhnya gugatan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres 2024 yang dimohonkan Paslon 01 Anies-Muhaimin dan Paslon 03 Ganjar-Mahfud tidak membuat Presiden Joko Widodo "aman".
Pasalnya, ada peran bapaknya Cawapres 02 Gibran Rakabuming Raka itu di balik dugaan kecurangan Pilpres 2024 yang membuat Gibran dan Prabowo (Capres 02) memperoleh suara 58,59%, dan memenangkan Pilpres 2024 dengan satu putaran. Dugaan kecurangan itulah yang diperkarakan Paslon 01 dan 03 ke MK, dan dugaan itu juga pernah dibeberkan dalam film Dirty Vote yang dirilis pada tanggal 11 Februari 2024.
"Tidak amannya" Jokowi itu tercermin dari pernyataan Ketua Departemen Hukum Tata Negara UGM Zainal Arifin Mochtar dalam konferensi pers bertajuk "Pasca Putusan MK Kita Harus Apa" di Constitutional Law Society Fakultas Hukum UGM, Sleman, DIY, Selasa (23/4/2024).
Pakar hukum tatanegara yang juga aktor dalam film Dirty Vote itu mengatakan, setelah MK menolak permohonan PHPU Pilpres 2024 yang dimohonkan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud, orang yang melanggar hukum dan merusak demokrasi tetap harus mempertanggungjawabkan secara hukum.
"Siapa yang melanggar aturan hukum, siapa yang merusak penegakan hukum, siapa yang merusak demokrasi, harus tetap dibawa ke pertanggungjawaban hukum," kata pakar yang akrab disapa Uceng itu.
Ia menyinggung tiga hakim MK yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion).
"Saya kira bunyi putusan itu setidak-tidaknya 3 orang di center itu jelas-jelas mengatakan bahwa harus ada yang bertanggung jawab terhadap kejahatan demokrasi berupa Bansos yang direkayasa menuju ke arah pemilihan dan penggunaan aparat yang direkayasa ke arah pemilihan dan saya kira penanggungjawabnya tentu saja adalah Presiden," kata nya.
Karena hal itu, Uceng mengatakan, DPR harus didorong untuk mengajukan Hak Angket untuk meminta pertanggungjawaban.
"Harus serius. Tidak boleh dibiarkan proses yang keliru tanpa pertanggungjawaban," tegasnya.
Meski demikian, Uceng mengakui bahwa untuk mengajukan Hak Angket, partai politik harus berada di oposisi, tetapi sayangnya jarang partai politik yang mau menjadi oposisi karena mereka tak akan mendapatkan keuntungan.
"Saya kira harus dipikirkan bagaimana partai oposisi itu mendapatkan keuntungan elektoral. Makanya, saya termasuk yang mengatakan siapa yang mau oposisi pada pemerintahan harus kita pilih di Pemilu berikutnya, harus kita pilih calonnya di Pilkada, dan menghukum partai-partai yang status quo gitu supaya ada keuntungan elektoral, biasanya juga ada keuntungan finansial seharusnya," jelas dia panjang lebar.
Ia mengakui, strategi itu dapat melindungi oposisi.
"Karena kalau tidak (dilindungi), orang enggak ada yang mau jadi oposisi dan begitu ditawari kursi menteri belok semua (ikut pemerintah)," ujarnya. (man)