Jakarta, Harian Umum- Ketua Budgeting Metropolitan Watch (BMW) Amir Hamzah meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit investigasi terhadap dana corporate social responsibility (CSR) yang diterima mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok melalui yayasannya.
Pasalnya, selain dana senilai sekitar Rp5,2 triliun itu tidak masuk APBD, juga terlalu banyak keganjilan dalam proses penerimaan dan pengelolaannya.
"Dana CSR nggak ada urusannya dengan pemerintah (Pemprov DKI), karena dana itu dikeluarkan perusahaan untuk masyarakat di sekitar dimana perusahaan itu berada sebagai bentuk kepedulian sosialnya. Jadi, dalam hal penyaluran dana CSR itu, pemerintah hanya sebagai regulator, bukan pengelola sebagaimana dilakukan Ahok, sehingga ketika ada perusahaan yang ingin menyalurkan CSR-nya, pemerintah tinggal menunjukkan dimana lokasinya atau tempatnya yanh pas," kata dia dalam sebuah diskusi di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Selasa (27/2/2018).
Ia juga menilai, cara Ahok menerima dana CSR melalui Ahok Centre, dan kemudian digunakan untuk membangun Jakarta, antara lain untuk membangun rumah susun lengkap dengan perabotannya seperti kasur dan lemari, dan membangun Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA), tidak ada payung hukumnya.
Sebab, berdasarkan UU tentang Pemerintahan Daerah dan UU Pengelolaan Keuangan Daerah, aset Pemda harus dibangun dengan dana APBD.
"Lagipula nggak ada undang-undang yang mengatur tentang perusahaan ngasih dana CSR ke pemerintah," imbuhnya.
Tak hanya itu, Amir juga memgatakan kalau seharusnya, karena rumah susun (Rusun) dibangun dengan dana CSR dan perabotnya juga dibeli dengan dana CSR, Rusun dan perabotannya diberikan secara cuma-cuma kepada warga korban gusuran yang direlokasi ke sana, bukan hanya digratiskan tidak membayar sewa selama enam bulan, setelah itu kalau tidak sanggup bayar, diusir.
"Jadi, karena begitulah yang dilakukan Ahok, maka kita bisa tanyakan; kalau caranya seperti itu, lantas dimana fungsi dan manfaat CSR-nya?" tanya dia.
Amir juga mempertanyakan apa sesungguhnya dasar para perusahaan yang hampir semuanya merupakan perusahaan pengembang di bidang properti itu, seperti PT Agung Podomoro Land dan Agung Sedayu Grup, memberikan dana CSR kepada Ahok melalui yayasan Ahok Centre-nya, karena hal ini tak pernah dijelaskan Ahok maupun para pengembang itu.
"Karena itu BPK perlu melakukan audit investigasi terhadap dana CSR yang diterima Ahok agar jelas duduk perkaranya. Kalau penerimaan itu berindikasi pidana, harus diproses sesuai ketentuan hukum yang berlaku," tegasnya.
Amir mengaku khawatir kalau di balik pengucuran dana CSR itu ada deal-deal yang dilakukan Presiden Jokowi saat masih menjadi gubernur DKI Jakarta (2012-2014) dan Ahok menjadi wakilnya, yang akan merugikan warga Jakarta ke depan.
Sebab, selain pengumpulan dana CSR itu dimulai sejak era Jokowi, juga karena Ahok pernah mengatakan bahwa kalau tak ada dana Rp1,6 triliun dari pengembang, Jokowi nggak jadi presiden.
Hal senada dikatakan pengamat pembangunan Jakarta Deddy Tambunan. Ia mengatakan, di dunia ini tak ada makan siang yang gratis.
"Jadi, pasti ada kompensasi yang telah disepakati bagi para pengembang itu, dan ini juga mengindikasikan kalau deal-deal itu telah dicapai sebelum Pilkada DKI 2012 yang dimenangkan Jokowi-Ahok," katanya.
Ia bahkan mengatakan, jika dari sekitar 12 pengembang yang menggelontorkan dana CSR itu, termasuk di dalamnya PT Jakarta Propertindo (BUMD milik Pemprov DKI), ditarik benang merahnya, maka akan bertemu di satu titik, yakni di proyek Giant Sea Wall di Teluk Jakarta yang pembangunannya menelan dana sekitar Rp500 triliun, karena ke-12 pengembang itu berinvestasi di sana.
"Ini menarik untuk dikaji apakah ini memang sudah diskenariokan untuk tujuan tertentu ataukah tidak. Kalau ya, tujuannya apa? PT Intiland yang termasuk di antara ke-12 pengembang itu pernah mengeruk Waduk Pluit dengan dana CSR-nya, dan lumpur dari waduk itu kemudian digunakan unuk menguruk laut di Teluk Jakarta karena intiland juga bikin pulau di sana," katanya.
Meski demikian, katanya, yang juga perlu dikhawatirkan adalah dampak dari penggunaan dana CSR untuk membangun aset-aset Pemprov DKI.
"Itu nanti bisa menyandera birokrasi karena jika terjadi pelanggaran di sana, birokrat susah menindak karema bisa diklaim pengembang," katanya.
Deddy juga mengkritisi tindakan Ahok yang tidak berembug apalagi melibatkan DPRD dalam proses penerimaan dan pemanfaatan dana CSR tersebut, karena sejak awal menjabat sebagai gubernur untuk memggantikan Jokowi yang memenangi Pilpresn 2014 dan menjadi presiden, Ahok seolah sengaja menjadikan DPRD sebagai musuh, agar tidak dapat dikontrol dan diawasi.
"Karena itu saya setuju sekali BPK melakukan audit investigasi terhadap dana CSR yang diterima Ahok itu," katanya.
Seperti diketahui, sejak awal CSR yang diterima Ahok melalui yayasannya memang telah menyulut polemik karena sangat tidak transparan. Bahkan ada kecurigaan kalau Ahok menerima dana itu karena menyerahkan lahan-lahan milik Pemprov DKI kepada pengembang.
Kecurigaan itu muncul karena berdasarkan hasil audit BPK diketahui kalau sejak 2013-2016 aset Pemprov DKI berupa lahan dan bangunan dengan nilai Rp10 triliun tak jelas keberadaannya meski tercatat di Badan Pengelola Aset Daerah (BPAD). (rhm)