Jakarta, Harian Umum - Juru Bicara Bidang Penindakan KPK, Ali Fikri, tidak mengiyakan maupun menidakkan konfirmasi tentang kabar bahwa lembaganya sedang memperluas penyelidikan dan penyidikan kasus pembelian lahan di Munjul, Kelurahan Pondok Ranggon, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur, oleh Perumda Pembangunan Sarana Jaya pada tahun 2019.
“Ini rilis terakhir yang kasus tanah,” kata Ali, Jumat (4/6/2021), saat menjawab konfirmasi id-times.com yang disampaikan melalui pesan WhatsApp.
Dalam pers rilis bertanggal 2 Juni tersebut KPK hanya fokus pada penanganan perkara yang melibatkan empat pihak, dimana satu di antaranya adalah sebuah korporasi.
Keempatnya adalah mantan Dirut Sarana Jaya, Yoory Corneles (YRC); Wakil Direktur PT Adonara Propertindo, Anja Runtuwene (AR); Direktur PT Adonara Propertindo, Tommy Adrian (TA); dan PT Adonara Propertindo (AP).
Kasus ini naik ke penyidikan pada 24 Februari 2021 setelah KPK mendapatkan bukti permulaan yang cukup, dan hingga Rabu (2/6/2021), sebanyak 46 saksi telah dimintai keterangan.
Pada hari yang sama (Rabu, 2/6/2021), KPK melakukan penahanan paksa kepada tersangka AR, dan saat ini yang bersangkutan mendekam di sel Rutan Polda Metro Jaya untuk selama 20 hari atau hingga 21 Juni 2021.
Dalam rilis ini tidak dijelaskan kalau KPK memperluas penyelidikan dan penyidikan kasus ini, namun menegaskan kembali kalau lahan di Munjul tersebut yang dibeli YRC dari PT AP, merupakan lahan milik Kongregasi Suster-Suster Karolus Boromeus yang belum lunas dibayar karena AR baru memberi uang muka Rp5 miliar yang ditransfer ke rekening bank atas nama Kongregasi Suster-Suster Karolus Boromeus. Serah terima SHGB (Sertifikat Hak Guna Bangunan) dan girik tanah itu dari pihak Kogregasi Suster-Suster Karolus Boromeus kepada AR dilakukan melalui Notaris yang ditunjuk AR.
“Pada 8 April 2019, disepakati dilakukannya penandatanganan pengikatan Akta Perjanjian Jual Beli di hadapan notaris yang berlangsung di Kantor Perumda Pembamgunan Sarana Jaya antara pihak pembel, yaitu YRC, dengan pihak penjua, yaitu AR,” kata KPK dalam rilis tersebut.
Selanjutny, masih di waktu yang sama atau pada 8 April 2019, juga dilakukan pembayaran sebesar 50% atau sekitar Rp108.9 miliar ke rekening bank milik AR di Bank DKI, dan selang beberapa waktu kemudian, atas perintah YR, Sarana Jaya kembali melakukan pembayaran kepada AR sekitar Rp43,5 miliar.
KPK menyatakan, pembelian lahan ini melawan hukum karena:
1. Tidak adanya kajian kelayakan terhadap Objek Tanah;
2. Tidak dilakukannya kajian appraisal dan tanpa didukung kelengkapan persyaratan sesuai dengan peraturan terkait;
3. Beberapa proses dan tahapan pengadaan tanah juga diduga kuat dilakukan tidak sesuai SOP serta adanya dokumen yang disusun secara backdate.
4 Adanya kesepakatan harga awal antara pihak AR dan Sarana Jaya sebelum proses negosiasi dilakukan.
“Atas perbuatan para tersangka tersebut, diduga telah mengakibatkan kerugian keuangan negara setidak-tidaknya sebesar Rp152,5 miliar,” kata KPK lagi.
Sebelumnya, pengamat kebijakan publik Amir Hamzah mengatakan, dirinya mendapat informasi kalau saat ini KPK sedang memperluas penyelidikan dan penyidikan kasus pembelian lahan di Munjul, karena lembaga antirasuah itu telah mengendus adanya ketidakberesan di tubuh Sarana Jaya, baik dalam pengadaan alat produksi maupun dalam pemanfaatannya. Tak hanya dalam kasus pengadaan tanah di Munjul.
“Perluasan penyelidikan dan penyidikan itu saat ini tengah mengarah ke alat-alat produksi milik Sarana Jaya yang berupa aset dalam bentuk gedung atau lainnya yang dapat mendatangkan keuntungan bagi BUMD milik Pemprov DKI Jakarta itu,” katanya di Jakarta, Kamis (3/6/2021).
Amir menyebut, aset produksi Sarana Jaya yang saat ini tengah dibidik KPK, yakni Hotel Mercure di Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat; dan gedung Sarana Jaya di kawasan Tebet, Jakarta Selatan.