Jakarta, Harian Umum - Kuasa Hukum Hizbut Tahrir Indonesia , Yusril Ihza Mahendra mengatakan, pihaknya akan mengajukan Judicial Review Perppu No 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Oganisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas).
Gugatan rencananya akan diajukan ke Mahkamah Konstitusi pada Senin (17/7/2017) mendatang. Menurut Yusril, Judicial tersebut bertujuan untuk membatalkan pasal-pasal yang mengatur kewenangan pemerintah dalam mencabut badan hukum dan membubarkan ormas.
"Kami akan sampaikan gugatan ke MK pada Senin mendatang untuk membatalkan pasal-pasal terkait kewenangan absolut pemerintah untuk memberikan sanksi kepada ormas yang akan mencabut status badan hukum dan pembubaran," ujar Yusril saat memberikan keterangan pers di kantor HTI, Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (12/7/2017).
Selain itu Yusril mengatakan, di dalam Perppu Ormas terbaru tersebut terdapat beberapa pasal yang bersifat karet, tumpang tindih dengan peraturan hukum lain dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.
Yusril mencontohkan Pasal 59 ayat (4) Huruf c sebagai salah satu pasal yang bersifat karet menyebutkan, "ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila antara lain ajaran ateisme, komunisme/marxisme-leninisme, atau paham lain yang bertujuan mengganti/mengubah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945."
Perppu tersebut tidak menjelaskan secara detail mengenai penafsiran paham yang bertentangan dengan Pancasila. Di sisi lain penafsiran sebuah paham tanpa melalui pengadilan akan memunculkan tafsir tunggal dari pemerintah.
"Pasal ini karet karena secara singkat mengatur paham seperti apa yang bertentangan dengan Pancasila," kata dia.
Selain itu Tafsir anti-Pancasila bisa berbeda antara satu rezim dengan rezim yang lain. Pemerintah bisa semaunya menafsirkan," ucapnya.
Yusril juga menyoroti Pasal 59 ayat (4) huruf a mengenai larangan ormas melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras atau golongan. Dia menegaskan ketentuan dalam pasal tersebut juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan sanksi hukum yang berbeda.
"Pasal 59 mengenai larangan tindakan permusuhan SARA itu sudah diatur dalam KUHP, tapi sanksinya berbeda. Jadi mau pasal mana yang akan dipakai. Hal ini menunjukkan tidak ada kepastian hukum," kata Yusril.
Begitu juga Yusril mengkritik mengenai penerapan ketentuan pidana dalam Pasal 82A. Pasal itu menyatakan bahwa anggota atau pengurus ormas bisa dipidana penjara jika melanggar ketentuan Perppu. Sebelumnya, ketentuan mengenai penerapan sanksi pidana tidak diatur dalam UU Ormas.
"Ini kan tidak jelas. Di Pasal 59 mengatur hal-hal yang dilarang dilakukan oleh organisasi, tapi di Pasal 82A mengatur pidana yang menghukum orang," ucapnya.