Jakarta, Harian Umum - Qanun Jinayat hanya berlaku bagi muslim. Namun, bagi pelaku yang non-muslim dapat memilih hukuman cambuk yang diatur sesuai qanun atau hukuman yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Tapi kenapa mereka memilih hukum cambuk dari pada KUHP, dalam proses hukumnya, Alem dan Amel kedua pria ini menerima masing-masing sembilan dan tujuh cambukan di punggung mereka. Jumlah cambuk itu sudah dikurangi karena mereka telah ditahan lebih dari satu bulan sejak polisi menangkap mereka saat beradu ayam di Aceh Besar pada Januari 2017. Eksekusi hukum cambuk itu dilakukan Jumat, 10 Maret 2017,
"Kami hidup di Aceh, sehingga kami harus mematuhi peraturan di wilayah kami," kata Alem kepada AFP, tak lama setelah dicambuk, Jumat, 10 Maret 2017.
Ketika mereka ditangkap, polisi menyita dua ekor ayam dan uang taruhan Rp 400 ribu kata jaksa Rivandi Aziz, seperti dikutip dari The Straits Times.
Alem Suhadi, 57 tahun, dan Amel Akim, 60 tahun, adalah keturunan etnis Cina dan termasuk minoritas Buddha. Mereka dicambuk di depan puluhan pejabat lokal dan ratusan penduduk di Jantho, Kabupaten Aceh Besar, Aceh.
Warga non-muslim pertama yang dikenai Qanun Jinayat adalah seorang perempuan berusia 60 tahun, beragama Kristen, di Takengon, Aceh. Dia dituduh menjual alkohol sehingga dihukum cambuk 30 kali pada 12 April 2016. Sempat terjadi kontroversi penerapan Qanun Jinayat tersebut terhadap non-muslim kala itu.
Aceh mulai menerapkan hukum syariah setelah diberikan otonomi khusus pada 2001. Langkah ini adalah upaya pemerintah pusat di Jakarta untuk memadamkan pemberontakan separatis di sana. Hukum Islam telah diperkuat sejak provinsi ini mencapai kesepakatan damai dengan Jakarta pada 2005.







