Jakarta, Harian Umum - Direktur Gerakan Perubahan Muslim Arbi mengatakan, selama Gibran Rakabuming Raka masih menduduki jabatan wakil presiden (Wapres), Indonesia akan terus ribut dan tidak tenang.
Sebab, duduknya Gibran di kursi RI 2 itu bukan hasil dari mekanisme demokrasi yang wajar, melainkan buah dari manipulasi konstitusi.
"Memasuki tahun kedua pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, atmosfer politik nasional belum juga menemukan keseimbangannya. Bukan karena dinamika oposisi atau tantangan kebijakan, tetapi karena satu sosok yang terus menimbulkan polemik di ruang publik, yaitu Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo yang kini menjabat wakil presiden," kata Muslim melalui siaran tertulis, Kamis (6/11/2025).
Ia meyakini, selama Gibran masih berada di kursi kekuasaan, Indonesia akan terus ribut dan tidak tenang, karena kehadiran Gibran di puncak kekuasaan bukanlah hasil dari mekanisme demokrasi yang wajar, melainkan buah dari manipulasi konstitusi.
“Semua orang tahu, Gibran tidak akan mungkin bisa menjadi calon wakil presiden jika Mahkamah Konstitusi tidak mengubah syarat usia melalui putusannya yang kontroversial itu. Jadi, masalah Gibran bukan hanya semata karena faktor politik, tetapi juga karena problem etik, moral, dan hukum yang membayangi keabsahan posisinya,” tegas Muslim.
Ia menyebut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dimaksud adalah putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengubah norma pasal 169 huruf q UU Pemilu yang membuka jalan bagi Gibran untuk maju mendampingi Prabowo sebagai Cawapres di Pilpres 2024, meski MK tidak punya kewenangan mengubah norma dalam undang-undang yang manapun, karena lembaga yang berwenang mengubah norma dalam undang-undang hanya DPR.
Menurut Muslim, putusan MK itu sarat konflik kepentingan karena ketua MK saat itu, yakni Anwar Usman, adalah pamannya Gibran.
“Lebih jauh saya menilai, ini bukan sekadar pelanggaran etik, tapi juga penghinaan terhadap hukum itu sendiri. MK sebagai benteng terakhir konstitusi malah dijadikan alat politik keluarga. Maka, jangan heran bila rakyat tidak tenang, karena keadilan sudah diacak-acak dari atas,” imbuh Muslim.
Selain soal legalitas konstitusional, Muslim juga melihat masalah Gibran ada pada isu integritas pribadinya, terutama terkait kejelasan riwayat pendidikan putra sulung mantan Presiden Joko Widodo itu.
“Publik masih mempertanyakan ijazah Gibran. Ada yang bilang dia tidak lulus SMP, ada yang bilang ijazahnya tidak bisa diverifikasi. Kalau hal mendasar seperti itu saja masih kabur, bagaimana publik bisa percaya pada keabsahan moral seorang wakil presiden?” tanya Muslim.
Bagi aktivis senior ini, isu ijazah bukan sekadar persoalan administratif, melainkan cerminan dari etika politik.
“Seorang pejabat publik harus menjadi contoh kejujuran. Kalau urusan ijazah saja penuh misteri, apa yang bisa diharapkan dari kepemimpinannya?” tanyanya lagi.
Dalam analisisnya, Muslim menilai Gibran bukan hanya problem personal, tapi juga sumber ketegangan nasional.
“Lihat saja, sejak Gibran diumumkan sebagai Cawapres, politik Indonesia tidak berhenti ribut. Ada yang menolak, ada yang membela. Bahkan setelah dilantik pun, suara kekecewaan tidak mereda. Ini artinya, posisi Gibran bukan mendamaikan bangsa, melainkan terus membelahnya,” jelas dia.
Ia menambahkan, kehadiran Gibran memperlihatkan bahwa kekuasaan hari ini terlalu berpusat pada dinasti, bukan meritokrasi.
“Gibran hanyalah perpanjangan tangan dari Jokowi. Maka, selama Gibran masih di situ, publik akan terus mengaitkan kekuasaan ini dengan intervensi keluarga Jokowi,” kata Muslim.
Ia melihat, dengan adanya Gibran dengan segala permasalahannya, pemerintahan Prabowo-Gibran merupakan pemerintahan dengan defisit legitimasi moral.
“Memang secara hukum Gibran sudah dilantik, tapi secara etika dan politik, legitimasi itu rapuh. Banyak yang masih melihat bahwa ia tidak pantas duduk di sana,” tegas Muslim.
Ia meyakini, tidak ada stabilitas politik tanpa legitimasi moral. Ketika wakil presiden sendiri dianggap hasil rekayasa hukum, maka kepercayaan publik terhadap institusi pemerintahan otomatis menurun.
“Rakyat bisa patuh karena takut, tapi tidak akan hormat. Pemerintah bisa kuat secara struktur, tapi lemah secara moral,” tegasnya.
Muslim memprediksi, selama Gibran masih menjadi wakil presiden, pemerintahan Prabowo akan terus diguncang isu-isu etik dan dinasti kekuasaan.
“Tidak akan ada ketenangan politik. Setiap kebijakan akan selalu dihubungkan dengan kepentingan keluarga Jokowi. Setiap langkah Prabowo akan dianggap tidak independen,” ujarnya.
Ia bahkan menyebut, fenomena ini menjadi ujian besar bagi Presiden Prabowo Subianto sendiri.
“Kalau Prabowo tidak segera menegaskan independensinya dari bayang-bayang Jokowi dan Gibran, ia akan kehilangan kepercayaan publik, dan itu bisa fatal secara politik,” kata Muslim Arbi.
Di penghujung pernyataannya, Muslim menyimpulkan bahwa Gibran adalah simbol dari luka demokrasi Indonesia—luka yang dalam dan belum sembuh.
“Demokrasi kita dicederai oleh kompromi dan kolusi. Selama itu belum disembuhkan, selama Gibran masih duduk di kursi kekuasaan hasil manipulasi, maka Indonesia akan terus ribut, gaduh, dan kehilangan arah moralnya,” pungkas dia. (rhm)


