Jakarta, Harian Umum - Presiden Prabowo Subianto secara tak terduga membuat kebijakan yang bukan hanya menohok Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, akan tetapi juga mengguncang nalar sehat dan membuat rakyat marah.
Kebijakan tersebut adalah mengambil tanggung jawab utang Kereta Cepat Jakarta-Bandung alias Whooosh ke China yang angkanya mencapai Rp116 triliun.
Padahal, sebelumnya Purbaya mengatakan menolak membayari utang itu dengan APBN, karena kerjasama mantan Presiden Joko Widodo alias Jokowi dengan China untuk proyek berbiaya USD 7, 5 miliar tersebut menggunakan skema business to business (B to B).
Kebijakan ini rupanya membuat Pengamat Intelijen dan Geopolitik Amir Hamzah tertarik untuk mencermati dan mendalami, karena Prabowo berani membuat kebijakan yang bertolak belakang dengan kehendak sebagian rakyat, terutama yang menganggap korupsi sebagai musuh yang harus diberantas, hanya dengan mengandalkan uang yang dapat ditarik dari kasus korupsi.
Bayangkan, Whoosh yang diduga mengandung Mark up atau korupsi, utangnya dibayar dengan uang yang ditarik dari hasil korupsi. Angka yang akan ditanggung Prabowo (baca: pemerintah) pun luar bisa besar, Rp1,2 triliun dari Rp2 triliun yang harus dibayar setiap tahun.
Dan sejauh ini, uang hasil korupsi yang telah dapat dikembalikan ke APBN sekitar Rp13,2 triliun dari korupsi ekspor CPO (crude palm oil)..
“Wajar banyak orang yang marah, tapi setelah kemarahan itu reda, timbul pertanyaan: kenapa Presiden sampai membuat pernyataan demikian?,” kata Amir, Kamis (6/11/2025).
Menurut dia, jika ditelusuri lebih dalam, pernyataan Presiden Prabowo sesungguhnya mencerminkan pemahaman penuh terhadap kerumitan kontrak, negosiasi dan struktur keuangan proyek Whoosh. Presiden tentu sudah mengetahui berbagai hal yang menjadi sorotan publik, mulai dari siapa negosiator dan penandatangan perjanjian, hingga potensi mark up dan korupsi dalam prosesnya.
“Pasti semuanya sudah diketahui oleh Prabowo. Masalah ini tidak sederhana, tapi multi kompleks dan menyangkut banyak pihak, baik di tingkat nasional maupun internasional,” imbuhnya.
Menyinggung isu yang berkembang di masyarakat bahwa apabila Indonesia gagal membayar utang kepada China Development Bank (CDB) atas utang Whoosh, maka Pulau Natuna akan diserahkan kepada China sebagai kompensasi, Amir meragukannya.
“Apakah benar demikian? Kan belum ada kejelasan. Kita ribut soal Whoosh, tapi tidak ada yang tahu isi perjanjian itu,” katanya..
Menurut Amir, transparansi sangat penting agar tidak muncul narasi liar yang bisa memicu instabilitas politik dan sosial. Kompleksitas Whoosh tidak bisa disederhanakan hanya sebagai persoalan ekonomi, tetapi harus dilihat dalam bingkai geopolitik Indo-Pasifik.
Dalam analisisnya, Amir menjelaskan, proyek Whoosh awalnya dibangun melalui konsorsium antara perusahaan BUMN Indonesia (PT KAI, WIKA, PTPN VIII dan Jasa Marga) dengan konsorsium dari China. Namun, kini di bawah struktur baru Danantara, posisi konsorsium berubah secara kelembagaan karena BUMN kini berada di bawah badan, bukan langsung di bawah kementerian.
“Perubahan struktural ini punya dampak positif dan negatif, bukan hanya secara administratif, tapi juga kultural. Kalau tidak dikelola dengan baik, bisa ada data dan bukti yang hilang, dan itu berbahaya,” tegas Amir.
Penyelesaian proyek Whoosh harus dibedakan antara persoalan hubungan bilateral Indonesia–China dan masalah internal dalam konsorsium Indonesia. Kendati para tokoh yang disebut-sebut seperti Joko Widodo, Luhut Binsar Pandjaitan, Sri Mulyani atau Rini Soemarno ditangkap sekalipun, persoalan Whoosh tidak akan selesai dengan cepat.
“Ini bukan soal menanggung atau tidak menanggung utang. Kalau Natuna sampai diserahkan ke China, itu malah membuka konflik geopolitik baru dengan Amerika Serikat, Filipina, Australia, dan Jepang,” terang Amir.
Ia melihat Langkah Presiden Prabowo menanggung beban utang sebagai bentuk tanggung jawab politik, tetapi ia menekankan yang lebih dibutuhkan rakyat saat ini adalah keterbukaan informasi. Rakyat mengharapkan bukan hanya tanggung jawab, tapi juga kejelasan: siapa yang melakukan mark up, siapa yang menandatangani perjanjian dan apakah benar ada klausul Natuna.
Lebih jauh Amir menyoroti peran DPR RI yang menurutnya tidak menjalankan fungsi pengawasan ketika perjanjian Whoosh dibuat. Presiden Prabowo juga harus mempertanyakan kepada DPR: kenapa waktu perjanjian ini dibuat DPR tidur dan setuju?
"Masalah Whoosh ini bukan hanya tanggung jawab Presiden, tapi juga DPR. Publik kini bertanya-tanya: apakah utang Whoosh akan dibayar menggunakan uang rakyat (APBN) atau sumber lain? Untuk itu, saya mengusulkan dua langkah strategis bagi pemerintah," katanya.
Amir menyebut ada rekening dengan nilai yang tak terbatas milik putra Indonesia bernama Inderawan Hery Widyanto (IHW), yaitu Global Collateral Account (GCA). Pemerintah dapat menggunakan uang dalam rekening itu untuk membayari utang Whoosh.
“Bila diperlukan, saya siap menyerahkan data-data tentang GCA ini, baik kepada Menteri Keuangan maupun kepada Presiden Prabowo,” tegas pengamat yang juga juru bicara dan juru runding The Collateral House ini.
Sebagai pengamat intelijen dan geopolitik, Amir memandang persoalan Whoosh bukan sekadar ekonomi, melainkan perang strategi pengaruh antara kekuatan besar di Asia.
“Kalau kita menyerahkan aset strategis seperti Natuna ke China, ini akan mengubah keseimbangan geopolitik Indo-Pasifik. Amerika Serikat dan sekutunya tidak akan tinggal diam, dan ini bisa memicu perang ekonomi baru di kawasan,” katanya.
Ia menilai, langkah Prabowo yang memilih menenangkan situasi publik dan mengambil alih tanggung jawab menunjukkan gaya kepemimpinan “damage control”, yakni menenangkan gejolak sambil memetakan akar masalah.
Namun, Amir mengingatkan, Prabowo harus berani membuka data kepada publik, agar tidak muncul persepsi bahwa pemerintah menutupi kesalahan masa lalu. Penyelesaian masalah Whoosh tidak bisa dilakukan secara tergesa-gesa. Sebab, ini bukan hanya soal utang dan aset, tapi juga tentang kedaulatan politik dan kepercayaan rakyat.
“Langkah Presiden sudah tepat untuk meredam emosi publik, tapi yang lebih penting sekarang adalah keterbukaan informasi. Bangsa ini berhak tahu kebenaran tentang Whoosh, siapa yang bermain dan apa yang sebenarnya terjadi,” pungkas Amir. (rhm)







