Jakarta, Harian Umum - Ekonom yang juga mantan Menteri Kordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri (Menko Ekuin) Kecil Kian Gie Terkejut oleh banyaknya calon menteri yang dipanggil presiden terpilih Prabowo Subianto pada 14-15 Oktober kemarin.
Pasalnya, berikut calon wakil menteri dan kepala badan, jumlah yang dipanggil mencapai 100 orang lebih.
Hal itu terungkap dari siaran tertulis Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan, Rabu (16/10/2025), yang memuat tentang hasil diskusinha dengan Kwik pada Selasa (15/10/2024) tentang seputar APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).
"Pagi Ton. Semalam saya lihat pemanggilan calon menteri Prabowo. Saya cukup terkejut. Begitu banyak calon menteri yang dipanggil. Apa benar mereka semuanya akan menjabat menteri?" tanya Kwik seperti ditulis Anthony dalam siaran tertulisnya.
Anthony membenarkan
"Menurut informasi, jumlah kementerian pemerintahan Prabowo ini diperkirakan sekitar 44-46 kementerian," imbuh Anthony.
Dengan masih terkejut, Kwik yang pernah menjadi kader PDIP mempertanyakan apakah APBN sanggup dibebani jumlah kementerian yang gemuk seperti itu?
"Bukankah APBN kita semakin melemah dan porsi anggaran rutin saat ini relatif cukup tinggi? Apakah masih ada ruang gerak fiskal untuk membiayai biaya operasional pemerintah yang begitu gemuk, tanpa mengganggu atau mengurangi anggaran dari kementerian lainnya?" tanya Kwik lagi.
Anthony mengakui kalau saat ini ruang gerak APBN memang sangat sempit.
"Komposisi “belanja rutin” sangat besar, mencapai sekitar 86-88 persen dari total anggaran pengeluaran pemerintah pusat," imbuhnya.
Kwik mempertanyakan apa saja yang termasuk “belanja rutin”, dan Anthony menjelaskan bahwa ia mengategorikan “belanja rutin” sebagai semua belanja APBN di luar Belanja Modal.
Artinya, “belanja rutin” terdiri dari belanja pegawai, belanja barang (termasuk biaya pemeliharaan), pembayaran bunga utang, subsidi, bantuan sosial, dan belanja lain-lain.
"Total belanja rutin ini sudah mencapai 86-88 persen dari total pengeluaran pemerintah pusat. Itupun sudah termasuk utang dari defisit anggaran yang pada tahun 2023 mencapai sekitar Rp337 triliun, atau sekitar 15 persen dari total pengeluaran pemerintah pusat. Padahal Belanja Modal hanya Rp303 triliun saja," jelas Anthony lagi.
Maka, Anthony menegaskan, pembengkakan jumlah kementerian memang menjadi tantangan besar bagi APBN, bagaimana membiayai semua itu.
"Kondisi ini mirip waktu Orde Baru. Selama Orde Baru, seluruh pendapatan negara habis untuk anggaran rutin. Pembangunan dibiayai sepenuhnya oleh utang dari IGGI/CGI yang disebut Pemasukan Pembangunan. Dengan demikian, banyaknya menteri dan wakil menteri, apakah seluruh pemasukan APBN tidak habis?" tanya Kwik lagi.
Anthony membenarkan bahwa saat ini pendapatan negara memang sudah habis untuk “belanja rutin”.
"Anggaran pembangunan zaman Pak Harto sekarang dinamakan Belanja Modal, dan sepenuhnya juga dibiayai dari utang, yaitu Belanja Modal hanya Rp303 triliun, tetapi defisit atau utang anggaran mencapai Rp337 triliun," ungkapnya.
Kwik menilai, belanja pegawai dan pembayaran bunga utang memang sangat rigid, hampir tidak mungkin dipangkas.
"Kalau tidak salah, kedua pos anggaran ini saja sudah mencapai 40-45 persen dari total pengeluaran pemerintah pusat, tetapi belanja barang, subsidi, dan bantuan sosial kan masih bisa fluktuasi atau dipangkas, karena ketiganya tidak murni belanja rutin," kata Kwik.
Anthony membenarkan, akan tetapi, kata dia, fluktuasinya tidak bisa terlalu besar.
"Belanja barang, namanya saja belanja barang, tetapi sebenarnya adalah belanja operasional rutin juga, termasuk biaya pemeliharaan rutin. Jadi, tidak bisa dipangkas terlalu banyak. Belanja barang saja sudah mencapai sekitar 22 persen dari total pengeluaran pemerintah pusat, yang sudah termasuk utang anggaran tadi. Sedangkan belanja subsidi dan belanja bantuan sosial sebenarnya juga termasuk “belanja rutin”," jelas dia.
Meski demikian Anthony juga mengatakan, selama kondisi sosial masyarakat tidak banyak berubah, seperti yang terjadi selama 10 tahun terakhir ini, maka kebutuhan belanja subsidi dan belanja bantuan sosial (Bansos) juga masih sama saja.
"Bahkan kondisi sosial selama lima tahun belakangan ini memburuk, sehingga belanja subsidi dan bantuan sosial seharusnya naik, tetapi di era pemerintahan Jokowi malah dipangkas," imbuhnya.
Menurut Kwik, kalau belanja subsidi atau bantuan sosial dikurangi hanya untuk membiayai penambahan jumlah kementerian yang membengkak, risikonya cukup besar.
"Daya beli masyarakat kelompok bawah akan turun drastis, dan tingkat kemiskinan naik. Bukankah begitu?" kata Kwik.
"Iya," jawab Anthony.
Menurut dia, pemerintahan Jokowi memang nekat, sepertinya tidak memikirkan kesejahteraan masyarakat.
"Subsidi dan bantuan sosial di era Jokowi dipangkas. Hasilnya sudah dapat diduga, tingkat kemiskinan stagnan, bahkan naik," imbuhnya.
Ia pun mempertanyakan apakah pemerintahan Prabowo juga akan memangkas subsidi dan bantuan sosial untuk membiayai biaya operasional kabinet yang semakin besar?
Sebab, ia tidak tahu Prabowo mau mengambil dari pos anggaran yang mana untuk membiayai operasional kabinetnya yang gemuk itu.
"Lah, kalau tidak mengorbankan belanja subsidi atau bantuan sosial, dari mana uang untuk membiayai biaya operasional kabinet tersebut? Apakah berarti pajak akan naik, seperti rencana Prabowo yang ditulis di dalam visi misinya?" tanya Kwik.
"Ini pekerjaan rumah besar bagi tim Prabowo. Dilematis. Karena menaikkan pajak, seperti PPN atau mencari sumber pajak baru, bisa mengganggu pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kemiskinan lagi,"" jawab Anthony.
"Selain itu, perlu diingat juga Ton, Prabowo juga masih perlu dana besar untuk menjalankan program prioritasnya, yaitu memberantas stunting dan memberi makan siang gratis. Apakah anggaran untuk semua ini juga akan diambil dari belanja subsidi, belanja bantuan sosial
atau menaikkan pajak? Kita lihat saja nanti," sahut Kwik. (rhm)




