Jakarta, Harian Umum - Direktur Gerakan Perubahan yang juga Ketua Front Aksi Pemberantas Mafia Tanah Indonesia, Muslim Arbi, meminta Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) agar membatalkan HGB milik PT ASK karena cacat hukum adminstratif.
HGB dimaksud adalah HGB No.4972 dan SK HGB No.214-550.2- 35.2009 yang diterbitkan pada tanggal 16 Juli 2009, serta SK HGB dan Sertifikat HGB yang berkaitan dengan sertifikat tersebut yang diterbitkan pada tahun berikut sampai tahun 2017
"Karena di atas lahan berstatus HGB itu dibangun lapangan golf. Padahal, lahan seluas 2,2 hektare yang digunakan untuk lapangan golf itu milik ahli waris almarhum Satoewi yang tidak pernah dipindahtangankan," kata Muslim, Sabtu (28/9/2024).
Ia menjelaskan, permintaan kepada AHY disampaikan melalui surat pada 5 Agustus 2024, yang dilengkapi berkas-berkas yang dibutuhkan.
"Saya mengajukan permintaan itu karena dimintai bantuan oleh Pak Somo, salah satu dari lima ahli waris Satoewi, sekaligus perwakilan dari empat saudara kandungnya yang masing-masing bernama parkan Iskandar, Supardi, Asnan dulilah dan Ponima," jelas Muslim.
PT ASK adalah anak perusahaan berinisial PT PD Tbk, sebuah perusahaan yang listing di Bursa Efek Indonesia (BEI). Lahan milik ahli waris Satoewi yang dijadikan lapangan golf oleh perusahaan itu berada di Desa Lontar, Kecamatan Sambikerep, Kota Surabaya, Jawa Timur, sama dengan tempat di mana mereka tinggal.
Muslim membeberkan mengapa HGB No. 4972 sebagaimana dalam perihal surat Somo dinilai cacat hukum administratif, yakni karena :
1. Direktur PT ASK Saibun Wijaya saat mengajukan permohonan HGB pada tanggal 24 Januari 2008, membuat pernyataan bahwa lahan yang dijadikan lapangan golf itu tidak sengketa.
Padahal, saat itu dirinya pernah diperiksa penyidik Polwiltabes Surabaya sebagai terlapor atas laporan polisi nomor LP/K. 1081/VII/2006/SPK tanggal 24 Juli 2006 dengan sangkaan melanggar pasal 167 KHUP, akan tetapi pada 11 April 2023 kasusnya di-SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) pada tanggal 15 April 2013.
2. Pada tanggal 18 September 2006 petugas ukur dari BPN Surabaya melakukan pengukuran terhadap tanah petok 956 persil 169 S I luas 4.810 m2 dan S II luas tanah kurang lebih 8.410 M2 atas nama Satoewi dengan hasil GU No. 4711/2007
3. Pada tanggal 12 Desember 2006 dua petugas ukur dari BPN Surabaya 1, yaitu Agus Sumianto dan Wahyudi melakukan pengembalian batas terhadap SHM No. 495 petunjuk petok 621 persil 148 luas 9.550 M2 atas nama Satoeri bp Sampoeri, dan SHM 496 petunjuk petok 621 persil 144 luas 8.665 M2 atas nama Satoeri bp Sampoeri.
Kedua petugas ukur tersebut memetakan tanah GU No. 4711/2006, dan oleh Somo beserta saudara-saudaranya dihadang, akan tetapi kedua petugas ukur tersebut tetap memetakan tanah atas nama Satoewi, sehingga hasil pengembalian No. 302.9898.9899/2006 tanggal 12 Desember 2006 terjadi tumpang tindih/overlaping dan ada selisih tanah kurang lebih 4.561 M2.
4. Pegawai Kelurahan Lontar bernama Suwarsih atas perintah Lurah Lontar Harun Ismail mencoret data leter C Petok 956 Persil 169 S II atas nama Satoewi karena ditulis HM 945 PD, dan ditulis salah coret pada tanggal 24 Agustus 2006, sementara leter C Petok 959 atas nama Satoeri dtulis sebagai HM 496 PD.
5. Pada tanggal 4 September 2015, no. 590/179/436.10.154/2015 Lurah Lontar Ridwan menerangkan persil 148 dan persil 144 tidak tercatat dalam buku leter C Kelurahan Lontar karena petunjuk petok 621 berada pada persil 22 dengan luas kurang lebih 1.200 M 2, sehingga kedua SHM No. 495 dan SHM No. 496 milik PT ASK diduga palsu.
6. Berdasarkan keterangan saksi Andi Winter Huduri SH, Kasubsi Pendaftaran Hak dan Informasi BPN Surabaya 1, diketahui bahwa berdasarkn data di kantor BPN Suranaya 1 asal usul SHM No. 495 dari petok 621 persil 148 d II atas nama Satoeri bp Sampoeri dengan luas 9.360 M2 sedangkan asal usul SHM Mo. 496 adalah petok 621 persil 144 b S II atas nama Satoeri bp Sampoeri
"Jadi, faktanya tanah SHM 495 dan 496 atas nama Satoeri bp Sampoeri milik PT ASK, baik petok maupun persil tidak menunjuk pada tanah petok 956 Persil 169 S I dan S II atas nama Satoewi, juga tidak menunjuk pada petok 959 persil 171 d II atas nama Satoeri. Luasnya juga berbeda," jelas Muslim.
Akan tetapi, lanjut Muslim, Saibun Wijaya terindikasi memang ingin menguasai tanah Satoewi dan Satoeri untuk dijadikan lapangan golf yang disewakan
Muslim membeberkan, sebelum dirinya dimintai bantuan oleh Somo, ahli waris Satoewi itu bersama saudara-saudaranya telah melakukan upaya untuk mengambil kembali tanahnya yang dikuasai PT ASK, termasuk melapor ke polisi, tapi tidak ada hasilnya.
"Kami datang ke AHY karena kami melihat sejak AHY dilantik Pak Jokowi menjadi Menteri ATR/BPN, Beliau getol memberantas mafia tanah, dan kasus Pak Somo ini, menurut saya juga terindikasi mengandung unsur mafia tanah, karena bagaimana bisa sebuah perusahaan tiba-tiba menguasai lahan orang, membangunnya menjadi lapangan golf, sementara si pemilik tidak pernah mengalihkan atau menjualnya, kpd siapapun terutama kepada PT. Ask" imbuh Muslim.
Aktivis senior ini berharap AHY memperhatikan betul kasus ini, karena Pak Somo dan ahli waris Satoewi yang lain bukan orang kaya.
"Mereka masyarakat kelas bawah, dan tanah yang dikuasai PT ASK ini harta mereka yang paling berharga," katanya.
Muslim menilai, jika AHY mengabaikan kasus Pak Somo ini, berarti perang yang dikobarkan AHY selama ini terhadap mafia tanah hanya omon-omon atau gimmick semata untuk sekedar menaikkan popularitas dan citranya. (rhm)