Jakarta, Harian Umum - Pengamat Ekonomi Politik Ichsanuddin Noorsy, Jumat (41/1/2025), merilis buku berjudul 'Prahara Bangsa' di kediamannya di kawasan Tebet, Jakarta Selatan.
Peluncuran buku ini dihadiri puluhan tokoh nasional, seperti Anggota DPD RI LaNyalla Mattalitti, mantan Menkes Siti Fadilah Supari, HMS Kaban, Prof Yudhie Haryono, Ida N Kusdianti, Edwin Sukowati, Sayuti Asyathri, Hatta Taliwang, dr Zulkifli S Ekomei, Andi Syahputra, Muslim Arbi, Mustika Sani, TB Massa Djafar, Prof Mulyadi, anggota DPR Rieke Dyah Pitaloka, dan lain-lain.
Peluncuran buku 'Prahara Bangsa' diisi dengan bedah buku tersebut dengan moderator dr Zulkifli S Ekomei dan narasumber Prof Yudhie Haryono, TB Massa Djafar dan Prof Mulyadi.
"Buku ini saya tulis sekitar 1,5 tahun seharusnya terbit menjelang kampanye Pilpres 2024, tapi saya lihat karena terjadi perubahan politik yang begitu drastis, terutama pada perebutan kursi presiden, saya tunda. Tadinya begitu selesai kampanye (Pilpres 2024), saya mau rilis tapi karena perdebatan soal kabinet, saya hentikan karena saya ingin update," kata Ichsanuddin setelah launching.
Dia mengakui kalau buku ini ditulis karena melihat adanya persoalan struktural fundamental karena Indonesia berhasil dijungkiribalikkan oleh UUD 2002, akan tetapi penjungkirbalikkan itu tidak dirasakan oleh sebagai besar rakyat Indonesia.
"Maka itu saya harus jelaskan itu sebagai pengetahuan umum kepada publik tentang bagaimana tentang Teori Desepsi itu. Maka, buku ini bicara tentang Teori Desepsi," imbuhnya.
Ia menjelaskan ada tiga pola atau modus dalam Teori Desepsi, yaitu menipu, memutus mata rantai sejarah, dan menjungkirbalikkan sejarah.
Prof Yudhie Haryono melihat ada dua keistimewaan dari buku setebal 416 halaman tersebut. Pertama, data-data mutakhir dalam buku 'Prahara Bangsa' sangat lengkap dan dibuat sebagaj petunjuk agar pbaca bisa melakukan sesuatu yang lebih substantif yang berkenaan dengan kenegaraan.
Kedua, dibanding buku-buku yang terbit sebelumnya, yang mengulas tentang amandemen UUD 1945 yang melahirkan UUD 2002, akan tetapi tetap diklaim pemerintah sebagai UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, padahal disahkan pada 10 Agustus 2002, pembahasan tentang UUD 2002 di buku 'Prahara Bangsa' paling substantif, bahkan memotret secara tajam dan komprehensif tentang arsitektur finansial sejak UUD 2002 diberlakukan.
"Harapan saya, buku ini bisa menjadi daya dobrak untuk lahirnya komunitas -komunitas substantif, dan saya juga berharap buku ini bisa dijadikan kurikulum di kampus-kampus, kelompok-kelompok studi, dan juga khususnya untuk partai politik," kata CEO Nusantara Centre ini
Sementara Hatta Taliwang mengatakan, ia mengapresiasi terbitnya buku Prahara Bangsa, karena buku ini juga membahas agak mendalam tentang UUD 1945.
"Jadi, buku ini sangat pro dengan UUD yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, dan apa yang menjadi kerisauan, menjadi prahara yang terjadi di bangsa ini sejak UUD 2002 disahkan MPR dan diberlakukan, diungkap dengan detil dalam buku ini. Misalnya tentang lemahnya peran MPR, tentang pemilihan presiden yang kacau, amburadul, banyak kebohongan. Itu semua diungkap di buku ini," kata Hatta.
Buku ini, kata Hatta, juga mengungkap Parpol sejak setelah UUD 1945 diamandemen dan UUD 2002 diberlakukan, dan juga menjelaskan siapa utusan golongan dan utusan daerah jika UUD 1945 yang asli diberlakukan kembali.
"Saya sependapat, utusan daerah adalah para sultan dan raja yang memiliki daerah-daerah (yang kini menjadi wilayah NKRI)," katanya.
Meski demikian, Hatta melihat buku ini memiliki dimensi positif dan negatif
Dimensi positifnya adalah siapapun yang membaca buku ini kesadarannya akan permasalahan bangsa ini akan bangkit dan kemudian ikut melakukan perlawanan demi menjaga keutuhan dan eksistensi Indonesia.
"Dimensi negatifnya adalah, karena buku ini memuat data-data dan analisa yang sangat lengkap dan detil, sehingga jika oligarki membacanya, merekai akan lebih paham situasi piskologis masyarakat dan lain sebagainya, dan setelah itu mereka bisa membuat counter skema," katanya.
Menurut Burgoon & Levine (2010) Desepsi (deception) adalah perilaku individu yang dengan sengaja bertujuan untuk memberikan informasi yang tidak benar, dan dengan sadar mengetahui respon yang akan diberikan oleh penerima informasi.
Dalam 'Prahara Bangsa', Noorsy mengungkap penggunaan teori desepsi untuk mengupas masalah sosial politik sejak UUD 2002 diberlakukan, dan mengungkap banyak fakta yang akan membuat pembacanya tercengang, di antaranya fakta bahwa sebagian rakyat Indonesia sesungguhnya telah terjebak dalam Stockholm Syndrome, yaitu kondisi di mana korban kejahatan justru bersimpari dan sayang kepada orang yang sebenarnya menzalimi dirinya.
Secara kasat mata, orang bisa melihat bagaimana begitu banyak orang yang tetap nge-fans terhadap Presiden RI ke-7 Joko Widodo alias Jokowi, meski Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) telah memasukkan dirinya sebagai salah satu pemimpin terkorup di dunia.
Bahkan, alih-alih meminta agar Jokowi di periksa dan diadili, para pendukung Jokowi mengeritik OCCRP, dan bahkan Wakil Ketua Umum DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Andy Budiman menilai rilis OCCRP merupakan cerminan suara barisan sakit hati.
"Itu suara barisan sakit hati, mereka yang belum bisa move on dari kekalahan di Pilpres. Ada jejak digital bahwa OCCRP membuka ke publik untuk menominasikan Corrupt Person of The Year sampai 5 Desember lalu. Jadi ada polling. Nah, barisan sakit hati itu yang memobilisasi suara," kata Andy dalam keterangannya pada 1 Desember 2024.
Buku Prahara Bangsa layak dan bahkan wajib Anda baca, jika Anda tidak ingin menjadi korban teori Desepsi dan menjadi pengidap Stockholm Syndrome (rhm)