Jakarta, Harian Umum - Habib Rizieq Syihab (HRS) dan empat tokoh nasional lainnya mengajukan menjadi Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Surat untuk itu diserahkan secara langsung oleh utusan kelima tokoh tersebut yang bernama Rivaldi P, SH, Rabu (17/4/2024), dan diterima staf MK bernama Ilham.
Keempat tokoh yang mengajukan surat menjadi Amicus Curiae bersama HRS adalah Din Syamsuddin, KH Ahmad Shabri Lubis, Munarman, dan Yusuf Muhammad Martak.
"Kami adalah kelompok warga negara Indonesia yang memiliki keprihatinan mendalam terhadap keberlangsungan dan masa depan Negara Kesatuan Republik Indonesia, utamanya dan pertama-tama adalah dalam tegaknya keadilan yang berdasarkan pada asas negara hukum yang berkeadilan," kata HRS dkk seperti dikutip dari salinan surat tersebut.
Ada empat pendapat, masukan dan himbauan dalam surat tersebut, yakni:
Pertama; Mahkamah Konstitusi Sebagai lembaga tinggi negara yang dihasilkan dari rahim reformasi adalah dimaksudkan sebagai Guardian of Contitution (Pasukan Penjaga Konstitusi) yang tugas pokok dan fungsinya adalah untuk mencegah terulangnya praktek- praktek maupun perilaku dari penyelenggara yang melakukan abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan). Adapaun kita sebagai bangsa dan negara telah mengalami sebanyak dua rezim, yaitu rezim Orde Lama dan rezim Orde Baru yang telah secara sengaja menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power) sehingga negara dan bangsa mengalami goncangan ekonomi, shock of mentality, berbagai peristiwa pelanggaran HAM Berat seperti extra judicial killing, arbitrary detention, konflik berbasis SARA yang kesemuanya berawal dari penyalahgunaan kekuasaan oleh penyelenggara negara, tanpa ada kelembagaan yang mengingatkan dan mencegah serta mampu menghentikan perilaku dan praktek abuse of power tersebut.
"Oleh karena itu, kami berharap, Mahkamah Konstitusi, sebagai kekuatan balancing of power yang merupakan bagian dari trias politica, agar dapat kembali meluruskan perjalan bangsa dan negara ini, kembali pada rel konstulitusi yang berdasarkan pada keadilan dan berorientasi pada sebesar-besarnya kemakmuran rakyat serta mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara," kata HRS dkk.
Kedua, adalah Kewajiban hakim untuk "menggali, mengikuti, dan memahami nilai- nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat", sebagaimana telah ditetapkan melalui Pasal 5 ayat (1) Undang-undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Hal ini berlaku untuk seluruh hakim di seluruh lingkup peradilan maupun tingkat pengadilan di Indonesia, termasuk Hakim Konstitusi yang mengadili perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden tahun 2024, dalam register perkara Nomor 1 dan 2/PHPU.PRES-XX11/2024.
"Untuk itu kami berharap agar Yang Mulia Hakim Konstitusi, secara sungguh-sungguh menggunakan kewenangan yang diatur oleh konstitusi dan perundangan di bawahnya, untuk mencapai tujuan hukum, yaitu berupa tegaknya keadilan dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara, terjaminnya pelaksanaan dan penyelenggaraan negara yang berdasarkan etika dan tidak memberi ruang bagi terjadinya conflict of interest dalam penyelenggaraan negara diseluruh aspek," imbuh HRS dkk.
Ketiga, setelah rezim Orde Lama dan Orde Baru yang telah menyelewengkan kehidupan berbangsa dan bernegara, yang bermula dari adanya conflict of interest dalam penyelenggaraan negara, telah terlihat tanda-tanda dari penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dikarenakan adanya konflik kepentingan (conflict of interest) dari pucuk pimpinan pemerintahan, yaitu Presiden R.I. Dalam sejarah bangsa ini, abuse of power dan conflict of interest ini dilakukan melalui rekayasa peraturan perundangan dan manipulasi otoritas yang berada ditangan Presiden, telah digunakan untuk mempengaruhi lembaga negara lainnya tanpa mendapat koreksi secara ketatanegaraan. Bahwa putusan Nomor 90/PUU-XI/2023 Mahkamah Konstitusi yang telah menjadi pembuka kotak pandora untuk dimulainya berbagai kerusakan pada berbagai sektor kehidupan berbangsa dan bernegara selanjutnya.
"Untuk itu adalah tepat kiranya secara kelembagaan negara, Mahkamah Konstitusi, mengambil peran untuk meluruskan berbagai penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan yang melenceng dari semangat reformasi," tegas HRS dkk.
Keempat, Indonesia telah mengalami buruknya kehidupan berbangsa dan bernegara yang bersendikan otoritarianisme, diktatorisme, opresif, represif, korupsi, kolusi dan nepotisme serta dinasti politik yang mengakibatkan penyakit kebodohan struktural dan kemiskinan struktural yang sangat bertentangan dengan tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana yang tertuang dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945.
"Kami mendesak kepada Yang Mulia Hakim Konstitusi, untuk mengembalikan kehidupan berbangsa dan bernegara kepada tujuan sebagaimana pembukaan UUD 1945," kata HRS dkk lagi.
Pada bagian penutup, HRS dkk menegaskan bahwa sebagai sesama anak bangsa yang memiliki hak yang sama untuk menjaga keutuhan, kesatuan dan keberlangsungan NKRI tercinta ini, menghimbau kepada Yang Mulia Hakim Konstitusi, dalam mengambil keputusan untuk menempatkan kepentingan rakyat, bangsa dan negara di atas kepentingan golongan, apalagi keluarga, serta menempatkan nurani yang bersih dan jernih, di tengah penderitaan mayoritas rakyat yang tengah terancam kemiskinan struktural dan kebodohan struktural, maupun negara yang terancam posisinya menjadi negara satelit atau negara penyangga kepentingan negara imperialis dan ekspansif lainnya.
"Sejarah akan mencatat apakah Yang Mulia Hakim Konstitusi akan menjadi Guardian of Contitution atau Guardian of group regimentation. Kami hingga saat ini, masih meyakini, bahwa Yang Mulia Hakim Konstitusi tetap akan menjadi Guardian of Constitution," pungkas HRS dkk. (rhm)