Jakarta, Harian Umum - Wakil Ketua DPR Fadli Zon menilai, pada 2017 ini Presiden Jokowi gagal meningkatkan kesejahteraan petani dan nelayan, sehingga kehidupan masyarakat golongan ini tidak naik dari garis kemiskinan.
"Sepanjang tahun 2017, pemerintahan @jokowi masih saja fokus mengejar pembangunan infrastruktur, namun abai memperhatikan nasib petani dan nelayan yang menggeluti sektor primer, yaitu pertanian dan perikanan," katanya melalui akun Twitter pribadinya, @fadlizon, Minggu (31/12/2017).
Ia mencatat, sepanjang 2017 Nilai Tukar Petani (NTP) stagnan. Bahkan NTP subsektor tanaman pangan dan subsektor perkebunan berada di bawah angka 100, menunjukkan hasil yangg diperoleh petani dari kedua subsektor itu tak impas dengan biaya hidup mereka.
Artinya, jelas politisi Gerindra ini, karena di bawah titik impas, kehidupan para petani tentunya masih jauh di bawah garis sejahtera.
"Kesimpulan itu terkonfirmasi oleh data kemiskinan yang dirilis BPS (Badan Pusat Statistik)," tegas dia.
Pada Maret 2017, jumlah penduduk miskin dilaporkan mencapai 27,77 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, 61,57%, atau sekitar 17,10 juta jiwa, ternyata berada di pedesaan.
"Sejak tahun 2000, tingkat kemiskinan di desa memang selalu lebih tinggi dari perkotaan. Ini menunjukkan buruknya kehidupan petani. Mereka menjadi penyumbang terbesar angka kemiskinan nasional," imbuh Fadli.
Lebih parah lagi, kata dia, dalam satu tahun terakhir kemiskinan mereka juga kian memburuk. Pada periode September 2016 hingga Maret 2017, indeks kedalaman kemiskinan dan keparahan kemiskinan tercatat mengalami kenaikan.
Indeks kedalaman kemiskinan pada September 2016 adalah 1,74. Pada Maret 2017, angkanya naik menjadi 1,83. Demikian juga dengan indeks keparahan kemiskinan, naik dari semula 0,44 menjadi 0,48.
"Ini tentu saja memprihatinkan," tegas Fadli.
Ia mengingatkan bahwa jika kita belajar teori pembangunan, keberhasilan pembangunan sebenarnya diukur oleh tiga indikator, yaitu kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan.
"Jadi, ukuran keberhasilan pembangunan bukanlah pada berapa ribu kilometer jalan tol yang berhasil dibangun, tapi berapa jumlah orang miskin yang kini hidupnya sejahtera," katanya.
Ia menambahkan, meski kemiskinan diklaim berkurang, jumlah orang miskin pada 2014 dengan 2017 tak jauh beda.
"Secara agregat, jumlahnya memang berkurang sedikit, tapi merujuk pada indeks kedalaman kemiskinan, dalam tiga tahun terakhir orang miskin semakin bertambah buruk kehidupannya. Itu tentu bukan capaian yang baik," jelasnya.
Ia pun meminta pemerintah agar mengubah haluan pembangunan untuk mengatasi hal tersebut.
"Pemerintah harus mengubah haluan pembangunan dari berorientasi fisik menjadi lebih berorientasi kepada manusia. Ini yg disebut ‘people centered development’. Berkali-kali saya mengingatkan agar pemerintah segera evaluasi pembangunan infrastruktur yang telah mereka canangkan," tegasnya.
Salah Kebijakan
Menurutnya, haluan pembangunan dari berorientasi fisik, termasuk di bidang pertanian dan kemaritiman, membuat target pemerintah masih saja hanya di soal kulit, seperti misalnya swasembada pangan.
Ia mencontohkan, pemberantasan illegal fishing adalah penting, namun memberangus kemiskinan nelayan merupakan kewajiban pemerintah.
"Akibat pemberantasan illegal fishing, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) selalu mengklaim sumber daya ikan kita meningkat. Produksi perikanan pun meningkat dari 19,42 juta ton per tahun pada 2013 menjadi 21,72 juta ton per tahun. Seharusnya, seiring dengan sumber daya ikan yang melimpah di laut, maka kesejahteraan nelayan juga bertambah. Bukankah ironis, saat pemerintah mengklaim jumlah sumber daya ikan kita meningkat, namun nelayannya ternyata hidup miskin?" tanyanya.
Ia mengaku, saat berbicara dengan nelayan Karawang, yang mereka keluhkan justru kini semakin sulit melaut karena selain harga BBM semakin mahal dan sulit didapat, mereka juga dilarang menggunakan penggunaan alat tangkap tertentu, seperti cantrang.
"Jika cantrang dipandang merusak ekosistem, pemerintah seharusnya tak boleh berhenti hanya di pelarangan. Itu jadi mematikan usaha nelayan. Seharusnya pemerintah mendorong agar nelayan pemilik cantrang bisa melaut ke perairan yang lebih dalam. Untuk itu, tentu pemerintah perlu memfasilitasi mereka agar bisa memiliki kapal yang lebih besar. Atau pemerintah seharusnya memfasilitasi penggantian alat tangkap pada nelayan cantrang agar mereka bisa tetap melaut di wilayah perairan tradisional. Jadi, jangan matikan usaha nelayan dengan kebijakan sepihak yang dibuat buntu," tegasnya.
Fadli juga menyesalkan soal kebijakan pemerintah melarang penjualan ikan karang di Anambas, Kepulauan Riau yang ia baca dimedia, karena katanya, kebijakan ini telah mematikan usaha masyarakat.
"Saya setuju dengan alasan-alasan ekologis yang dikemukakan pemerintah. Namun pemerintah harus memperhatikan masyarakat yg sudah mulai melakukan budi daya sendiri atas beberapa jenis ikan jauh sebelum aturan pelarangan itu lahir. Jadi, mestinya pemerintah fasilitasi budidaya tersebut, bukan main larang tanpa solusi," tegasnya.
Ia bahkan meminta, jangan sampai karena alasan ekologis, para nelayan penangkap lobster atau rajungan larva, jadi jatuh miskin.
"Bagaimana nasib ekonomi para nelayan itu merupakan bagian dari tanggung jawab pemerintah, dalam hal ini KKP," tegasnya. (rhm)