Jakarta, Harian Umum - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Anthony Budiawan kembali membongkar masalah di balik proyek Ibukota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur.
Ia menyebut, keputusan pemerintah mengundangkan UU No 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN) pada 15 Februari 2022 dan adanya kebijakan bahwa kedudukan ibukota masih di Jakarta hingga terbitnya keputusan presiden (Keppres), menimbulkan dualisme ibukota yang merugikan keuangan negara.
"UU No 3 Tahun 2022 tentang IKN diundangkan 15 Februari 2022, dan mulai berlaku saat diundangkan, sebagaimana ketentuan pasal 44 UU itu yang menyatakan; Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan," kata Anthony melalui siaran tertulis, Sabtu (27/7/2024).
Menurut dia, dalam hal UU IKN sudah berlaku, maka seluruh karakteristik yang melekat pada Ibukota seharusnya juga sudah berlaku, termasuk kedudukan, fungsi dan peran Kota Nusantara sebagai Ibukota negara.
Namun, sambung dia, pasal 39 ayat (1) menetapkan kedudukan, fungsi dan peran ibukota negara masih berada di Provinsi DKI Jakarta, sampai terbit Keppres yang menetapkan pemindahan ibukota negara dari Jakarta ke Nusantara.
"Artinya, sejak 15 Februari 2022, Indonesia mempunyai dua Ibukota; kota Nusantara dan Jakarta, di mana operasionalnya (kedudukan, fungsi, dan peran) berada di Jakarta," kata dia.
Ia pun mempertanyakan, apakah bisa Indonesia mempunyai dua ibukota? Mempunyai dua UU tentang ibukota negara yang berlaku pada saat bersamaan?
"Karena menurut konstitusi, lembaga tinggi negara wajib bertempat di ibukota negara. Di mana?" tanyanya lagi.
Anthony membeberkan, pasal 39 ayat (1).UU IKN secara substansi telah membatalkan UU IKN yang sudah berlaku pada saat diundangkan, karena telah membatalkan kedudukan, fungsi dan peran kota Nusantara sebagai Ibu Kota Negara, di mana kedudukan, fungsi dan peran tersebut secara otomatis seharusnya melekat pada status Ibukota.
"Yang lebih berbahaya, kedudukan, fungsi dan peran ibukota negara di Nusantara tergantung dari (Keputusan) Presiden, tanpa batas waktu tetap. Hal ini mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum tentang di mana sebenarnya ibukota negara," imbuhnya.
Ia menambahkan, pasal 41 ayat (2) UU IKN menyatakan, selambat-lambatnya dua tahun sejak UU IKN diundangkan (pada 15 Februari 2022), UU tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota (No 29 Tahun 2007) wajib diubah sesuai dengan ketentuan dalam UU IKN. Pasal 41 ayat (2) ini bermakna, status Provinsi Jakarta harus diubah tidak lagi menjadi ibukota setelah 15 Februari 2024.
Sesuai perintah Pasal 41 ayat (2) UU IKN tersebut, UU terkait Jakarta sebagai ibukota akhirnya diubah dengan UU No 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta (DKJ), dan diundangkan pada 25 April 2024. Artinya, terlambat sekitar dua bulan dari yang diamanatkan UU IKN.
Yang mengejutkan, UU tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta meskipun sudah diundangkan tetapi belum diberlakukan. Artinya, Jakarta masih berstatus ibukota seperti ditegaskan dalam Ketentuan Peralihan Pasal 63 dan Pasal 64 UU DKJ.
Pasal 63 menyatakan; Pada saat undang-Undang ini diundangkan, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta tetap berkedudukan sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia sampai dengan penetapan Keputusan Presiden mengenai pemindahan Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia dari Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta ke Ibu Kota Nusantara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 64 berbunyi; Ibu Kota Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta saat ini tetap menjadi lbu Kota Provinsi Daerah Khusus Jakarta sampai dilakukan perubahan menurut Undang-Undang ini.
"Kedua pasal tersebut bertentangan dengan pasal 41 ayat (2) UU IKN yang memerintahkan status ibukota Jakarta harus disesuaikan dengan UU IKN paling lama dua tahun setelah diundangkan. Artinya, Jakarta tidak lagi menjadi ibukota setelah 15 Februari 2024," tegas Anthony.
Pasal 63 UU DKJ secara substansi bukan mengatur Ketentuan Peralihan UU DKJ. Sebaliknya, Pasal 63 UU DKJ menciptakan ketidakpastian hukum terkait ibukota negara, karena kedudukan, fungsi dan peran ibukota negara akan ditentukan oleh Keputusan Presiden, tanpa ada batas waktu.
Oleh karena itu, setelah batas waktu “paling lama 2 tahun” terlewati, Ibukota Nusantara belum berfungsi.
"Ketidakpastian hukum terkait ibukota negara secara nyata melanggar konstitusi, Pasal 28D ayat (1)," kata Anthony lagi
Ketentuan Peralihan UU ibukota negara harus dapat memberi kepastian hukum terkait jangka waktu yang pasti, dan wajib ditentukan oleh UU itu sendiri, bukan oleh Keputusan Presiden, Karena, Keputusan Presiden hanya mengatur pelaksanaan teknis dari sebuah UU yang berlaku.
"Keputusan Presiden tidak bisa mengubah sebuah UU yang belum berlaku menjadi berlaku, karena kedudukan Keputusan Presiden berada di bawah UU," jelasnya.
Menurut Anthony, selama Jakarta menyandang status ibukota Indonesia, seharusnya tidak ada kota lainnya yang juga mempunyai status yang sama sebagai ibukota Indonesia.
Oleh karena itu, Ibukota Nusantara seharusnya tidak sah, sehingga otorita Ibu Kota Nusantara juga tidak sah.
"Sebagai konsekuensi, pengeluaran APBN untuk otorita Ibu Kota Nusantara juga tidak sah, masuk kategori penyimpangan APBN, dan diancam pidana penjara serta denda," pungkas Anthonya. (rhm)