Jakarta, Harian Umum- Kepala Dinas Perhubungan (Kadishub) DKI Jakarta Andri Yansyah diduga tutup mata atas segala persoalan yang terjadi di Unit Pengelola (UP) Perparkiran, meski kondisi ini merugikan pegawai, khususnya pegawai tetap non PNS.
Pasalnya, setelah ditelisik lebih dalam, ternyata banyak sekali persoalan di Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) yang dipimpin Tiodor Sianturi itu, yang mengindikasikan kalau selain dikelola secara tidak profesional, diduga kuat juga ada praktik kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) di situ.
Informasi yang dihimpun harianumum.com, Jumat (3/8/2018), menyebutkan, selain pemotongan remunerasi yang tanpa dasar hukum dan pembelian 201 TPE yang diduga berbau korupsi, Kepala UP Perparkiran Tiodor Sianturi juga memberi ruang kerja yang tak layak bagi pegawainya, tidak membayarkan THR yang menjadi hak sejumlah pegawai, dan menerima pegawai titipan dari pihak tertentu. Meski UP sebenarnya sedang tidak membutuhkan pegawai baru.
Pegawai yang diberi ruang kerja yang tidak layak adalah pegawai yang mengelola parkir on street di kawasan Mayestik dan pusat perbelanjaan Blok M, Jakarta Selatan.
"Dengan alasan penghematan, sewa kantor untuk pengelola parkir di kawasan Blok M dan Mayestik, distop, dan pegawai kedua kantor itu diberi tempat di branggang (sela-sela gang antarbangunan, red) sebuah gedung di Jalan Melawai V, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan," kata Ragil, korlap UP Perparkiran untuk wilayah Jakarta Selatan, Jumat (3/8/2018) malam.
Ia menilai, alasan itu tak masuk akal karena biaya sewa kantor untuk pengelola parkir di kawasan Blok M sebesar Rp50 juta/tahun, sementara pemasukan mencapa rata-ratai Rp720 juta/bulan atau Rp8,64 miliar/tahun.
Sewa kantor pengelola parkir di Mayestik Rp40 juta/tahun, sementara pemasukan rata-rata Rp400 juta/bulan atau Rp4,8 miliar/tahun.
Ia mengakui kalau ruangan di branggang itu tidak nyaman, meski di sebelah kiri terdapat gedung dimana pengelola Program OK OCE Anies-Sandi berkantor, dan di sebelah kanan ada gedung dimana terdapat Toko Mas Melawai.
Alasan penghematan itu semakin menjadi tak masuk akal ketika pada Jumat 27 Juli 2018 lalu UP Perparkiran menerima tiga PKWT (pegawai kerja waktu terbatas) yang konon kabarnya merupakan keponakan seorang pejabat di Badan Kepegawaian Daerah (BKD) DKI.
Ketiga orang itu dibawa Dn dan Ad, pejabat di bagian tata usaha dan keuangan UP Perparkiran, dan digaji sesuai UMP DKI, yakni Rp3,6 juta/bulan.
"Padahal sebelumnya manajemen mengatakan penerimaan pegawai sudah dikunci alias sudah tidak ada penerimaan pegawai baru," jelas Ragil lagi.
Ketiga "pegawai" titipan itu saat ini seorang di antaranya dipekerjakan di kawasan Glodok, Jakarta Barat, dan dua lainnya masih di kantor pusat UP Perparkiran di Jalan Perintis Kemerdekaan, Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur.
"Kita bukannya iri oleh masuknya tiga pegawai baru itu, tapi kita cuma mau tolong deh UP Perparkiran dikelola dengan profesional agar pegawai tidak merasa terus menerus dizalimi dan diperlakukan semena-mena," imbuh Ragil.
Sebelumnya, pegawai mengeluh karena remunerasi mereka dipotong secara beruntun hingga dua kali dalam dua tahun atas masalah yang sebenarnya bukan kesalahan pegawai semata.
Pemotongan pertama terjadi pada 15 Oktober-15 Desember 2017 dengan alasan karena ada temuan BPK yang berpotensi merugikan UP Perparkiran sebesar Rp1,8 miliar, akibat kerugian yang dialami UP Perparkiran dalam mengelola 35 titik parkir milik PD Pasar Jaya dan kerugian akibat penerapan sistem Terminal Parkir Elektronik (TPE). Jumlah pegawai tetap non PNS yang remunerasinya dipotong mencapai 278 orang dengan total Rp1,6 miliar.
Dari 278 pegawai non PNS yang mengalami pemotongan remunerasi terdiri dari staf dan kordinator lapangan yang uang remunerasinya dipotong Rp2 juta/orang, dan asisten manajer serta manajer operasional yang remunerasinya dipotong antara Rp2 juta hingga Rp6 juta/orang.
Pemotongan kedua pada 18 Juli 2018 dengan alasan karena pemasukan pada Juni 2018 anjlok, sehingga dikhawatirkan akan menjadi temuan BPK lagi.
Padahal, tegas Ragil, Juni 2018 merupakan momen Ramadhan dan libur panjang Lebaran, sehingga wajar jika pemasukan anjlok, karena pada awal Januari 2018 pemasukan telah mencapai Rp107 miliar dari target untuk 2018 yang ditetapkan sebesar Rp111 miliar. Pada 2017, target pemasukan 'hanya' Rp52 miliar.
Pada Mei 2018, pemasukan sudah tembus Rp115 miliar.
Seperti halnya pada 2017, kali ini pun remunerasi staf dan kordinator lapangan dipotong Rp2 juta/orang, sementara remunerasi asisten manajer dan manajer operasional dipotong antara Rp2 juta hingga Rp6 juta/orang.
"Jumlah pegawai tetap non PNS pada pemotongan kedua ini 190 orang karena ada pegawai yang sudah memasuki masa pensiun dan ada yang meninggal dunia," jelas Ragil.
Pemotongan ini tidak memiliki dasar hukum karena tidak diatur dalam SK Gubernur Nomor 916 Tahun 2013 yang menetapkan UP Perparkiran sebagai Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), dan juga tidak diatur dalam SK Gubernur Nomor 531 Tahun 1979 tentang Pertanggungjawaban kepada Gubernur dan Sekretaris Daerah yang menjadi acuan sistem kerja UP.
SK Gubernur Nomor 916 Tahun 2013 justru mengatur bahwa pegawai UP Perparkiran yang terdiri dari PNS dan non PNS, setiap bulan tidak hanya menerima gaji, tapi juga remunerasi.
Pegawai juga mengeluhkan kebijakan Tiodor karena setelah dilantik menjadi kepala UP Perparkiran pada awal 2016, selama hampir tiga tahun Tiodor tidak mengucurkan dana untuk pembelian seragam bagi 2.600 juru parkir, sehingga para jukir itu terpaksa membeli dari kordinator wilayahnya masing-masing dengan cara dicicil.
"Yang kadang kami heran, Dinas Perhubungan menempatkan perwakilannya di UP Perpakiran yang diposisikan sebagai Kepala Satuan Pelaksana (Kasatpel) parkir, tapi hingga kini tak pernah ada koreksi terhadap cara Tiodor mengelola UP Perparkiran, sehingga dia seperti bebas melakukan apa saja, seolah UP Perparkiran adalah perusahaan milik pribadinya. Padahal, di setiap wilayah, baik di Jakarta Barat, Timur, Utara, Selatan maupun Pusat, terdapat satu Kasatpel dengan 5-7 pendamping. Para Kasatpel itu rata-rata mendapatkan TKD (tunjangan kerja daerah) sebesar Rp23 juta/bulan, sedang pendampingnya Rp18 juta/bulan," kata Ragil.
Kordinator parkir di wilayah Jakarta Selatan ini juga mengaku heran karena Dinas Perhubungan diam saja ketika UP Perparkiran membeli 201 TPE dengan harga Rp143 juta/unit atau total Rp25 miliar, tapi pembelian sebanyak itu tidak mendapat diskonto dari pabrikannya di Malaysia yang biasanya sebesar 10%, dan juga tidak ada fee sebesar 2,5%.
Dinas Perhubungan juga seolah tak tahu kalau dari 201 TPE yang dibeli, hanya 30% yang dapat dioperasikan secara efektif.
Pegawai UP Perparkiran juga heran karena meski dalam dua tahun terakhir ada persoalan pada pembayaran THR (tunjangan hari raya) untuk para juru parkir, Dinas Perhubungan juga diam saja, meski keluh kesah ratusan jukir yang THR-nya telat dibayar dan yang belum dibayar sampai sekarang, terjadi di setiap wilayah.
"Untuk tahun ini, dari 2.600 jukir di lima wilayah, masih ada sekitar 10% atau sekitar 260 orang yang sampai sekarang THR-nya masih belum dibayarkan. Padahal THR mereka hanya Rp500.000/orang," jelas Ragil.
Ia menjelaskan, pihak keuangan UP Perparkiran mengaku, masalah ini muncul karena THR ditransfer ke rekening para jukir, dan rekening para jukir itu banyak yang sudah disuspend pihak bank karena saldonya tak bertambah dalam enam bulan.
Menurut Ragil, alasan ini tak masuk akal karena untuk jukir yang rekeningnya sudah ditutup, bisa dipanggil dan dibayarkan secara cash.
"Akibat THR tak cair, tak sedikit dari para jukir itu yang tidak bisa mudik dan merayakan Lebaran dengan sangat sederhama," imbuhnya.
Ragil berharap Gubernur Anies Baswedan sebagai gubernur yang terbukti pro rakyat kecil, humanis, intelek dan memiliki misi visi menjadikan Jakarta sebagai kota yang adil, maju dan warganya sejahtera, memperhatikan betul masalah kronis di UP Perparkiran ini.
Sebab, Tiodor juga pernah tak mau memasukkan komponen remunerasi untuk pesangon pegawai yang meninggal maupun yang memasuki masa pensiun, sehingga pegawai mengadu ke Biro Hukum, Inspektorat, Biro Perekomonian dan Disnaker. Ini terjadi pada 2017 lalu.
"Sekarang ini kami sungguh berharap dari Pak Gubernur Anies Baswedan, karena hanya Pak Anies yang dapat membantu kami mengatasi semua ini," katanya.
Ragil mengaku yang saat ini diharapkan pegawai tetap non PNS dan para jukir adalah pemimpin yang amanah, clear and clean, punya integritas, kompeten dan kredibel, bukan pemimpin yang menghamba kepada kepentingan pribadi dan kroni-kroninya, sehingga tak segan-segan berlaku sewenang-wenang dan zalim.
"Kalau orang seperti Tiodor itu tetap dibiarkan memimpin UP Perparkiran, bagaimana Pak Gubernur bisa membuat Jakarta menjadi kota yang adil dan warganya bahagia? Apalagi instansi dimana kami bekerja merupakan BLUD milik Pemprov DKI," pungkasnya.
Hingga berita ditayangkan, Kadishub Andri Yansyah belum dapat dikonfirmasi, sementara konfirmasi via pesan WhatsApp yang dikirim kepada Kepala UP Perparkiran Tiodor Sianturi sejak Rabu (1/8/2018) lalu, hingga Sabtu (4/8/2018) pagi ini belum juga direspon. (rhm)







