Jakarta, Harian Umum - Wagub DKI Jakarta Sandiaga Uno diminta untuk tidak lagi melakukan atau mengeluarkan pernyataan apa pun terkait kasus dugaan korupsi pada pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras (RSSW) yang melibatkan mantan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Pasalnya, yang berwenang menangani dan menuntaskan kasus itu adalah Gubernur Anies Rasyid Baswedan.
"Sesuai rekomendasi BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) untuk kasus itu, yang boleh menyelesaikan kasus ini adalah Gubernur Anies Baswedan, karena dalam rekomendasinya BPK jelas mengatakan "merekomendasikan kepada Gubernur agar melakukan upaya pembatalan pembelian lahan dengan Yayasan Kesehatan Sumber Waras"," jelas Ketua Koalisi Rakyat Pemerhati Jakarta Baru (Katar), Sugiyanto, dalam acara Bedah Kasus Sumber Waras yang diselenggarakan Forum Jakarta di Gadung HWI Lindeteves, Jakarta Barat, Jumat (15/12/2017) malam.
Ia menambahkan, berdasarkan UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, Anies wajib menindaklanjuti rekomendasi yang didasari hasil audit atas laporan keuangan Pemprov DKI tahun anggaran 2014 itu, karena mengabaikannya bukan hanya dapat membuatnya terkena sanksi adminiatratif, namun juga sanksi pidana selama 1,6 tahun.
"Anies bahkan harus mengakui kalau hasil audit yang tertuang dalam LHP (laporan hasil pemeriksaan) BPK itu benar mengindikasikan adanya kerugian daerah pada pembelian lahan RSSW karena Ahok pernah mengatakan kalau hasil audit itu ngaco, dan Anies kemudian menjalankan rekomendasi BPK itu," kata Sugianto lagi.
Dalam diskusi itu terungkap kalau enam tahapan pembelian lahan RSSW oleh Ahok yang menurut LHK BPK merugikan keuangan daerah hingga Rp191 miliar, semuanya salah karena sebelum lahan itu dibeli, Dinas Kesehatan telah memiliki rincian data tentang luas lahan dan lokasi yang ideal untuk membangun RSUD Jantung dan Kanker yang menjadi dasar bagi Ahok untuk membeli lahan RSSW itu, namun diabaikan.
Rincian tersebut di antaranya memiliki akses yang bagus, tidak banjir dan lahan yang dibutuhkan seluas sekitar 2,5 hektare.
Namun yang dibeli Ahok adalah lahan RSSW dengan akses yang terbatas di Jalan Kyai Tapa, sering banjir dan luasnya 3,64 hektare, namun berstatus HGB yang akan habis pada 2018, sehingga meski sudah dibayar, lahan tak bisa langsung diserahkan oleh YKSW.
"Dana pembelian lahan yang mencapai Rp760 miliar pun baru dimasukkan Ahok di APBD Perubahan 2014, sementara pembayaran dilakukan pada 24 sampai 26 Desember atau setelah APBD tutup buku pada 15 Desember, dan pada malam hari di hari Sabtu," jelas Sugiyanto lagi.
Selain hal tersebut, lanjut aktivis yang akrab disapa SGY itu, dari hasil audit BPK juga diketahui kalau NJOP lahan yang dibeli Ahok itu saat dijual kepada PT Ciputra Karya Unggul (CKU) pada 2013, harganya Rp15 juta/m2. Namun saat dibeli Ahok pada 2014, mendadak naik menjadi Rp20 juta/m2, sehingga terjadi mark up sebesar Rp5 juta/m2 dan menurut perhitungan BPK, Pemprov DKI dirugikan Rp191 miliar.
"Kalau menurut pendapat Profesor Eddy Mulyadi Soepardi (anggota BPK), korupsi RSSW ini merupakan penyimpangan yang sempurna," imbuh SGY.
Umumnya peserta bedah kasus ini menyesalkan cara KPK menangani kasus RSSW, karena KPK lah yang meminta BPK melakukan audit investigasi ketika hasil LHP BPK atas laporan keuangan Pemprov DKI pada 2014 menyebutkan adanya temuan berupa kerugian daerah pada pembelian lahan milik YKSW itu oleh Ahok.
Namun setelah audit investigas rampung dan tak lama kemudian masa bakti KPK Jilid III yang dipimpin Abraham Samad berakhir dan digantikan oleh KPK jilid IV yang dipimpin Agus Rahadjo, semangat KPK untuk mengusut kasus ini tiba-tiba memudar. Bahkan alih-alih menjadikan Ahok tersangka dan menahannya, KPK malah menutup kasus itu dengan mengatakan kalau tak ada niat jahat Ahok saat membeli lahan tersebut.
Meski demikian, peserta bedah kasus sepakat untuk segera mendorong Anies menuntaskan kasus ini, karena yakin Anies sanggup dan memiliki keberanian. Apalagi karena target Anies untuk mendapatkan penilaian WTP (wajar tanpa pengecualian) dari BPK atas pengelolaan APBD, juga tergantung pada tuntas tidaknya kasus yang mendapatkan perhatian luas dari masyarakat ini. (rhm)







