Jakarta, Harian Umum - Hingga tahun ketiga pemerintahannya, Presiden Jokowi dianggap gagal merealisasikan janji yang digembar-gemborkan saat kampanye Pilres 2014, yakni swasembada pangan.
"Dalam bidang pertanian, sepanjang tahun 2017 pemerintah juga belum bisa menunaikan janji dan targetnya. Sesuai janji kampanye, tahun ini sebenarnya pemerintah menargetkan swasembada Pajale (Padi, Jagung, Kedelai)," kata Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon melalui akun Twitter pribadinya, @fadlizon, Minggu (31/12/2017).
Politisi Partai Gerindra ini memaparkan bukti bahwa pada periode Januari-September 2017, Indonesia masih mengimpor beras sebanyak 198.560 ton dan jagung sebanyak 512.075 ton.
"Bahkan kita masih impor 65% dari total kebutuhan kedelai nasional. Jangankan tercapai, yang terjadi adalah pemerintah kembali merevisi target kerjanya," imbuh dia.
Politisi yang dikenal kritis terhadap pemerintah ini menilai, masih tetap tingginya angka impor pangan ini merupakan sesuatu yang aneh karena data Kementerian Pertanian biasanya selalu menyebutkan terjadinya peningkatan produksi pangan di berbagai jenis komoditas.
"Itu artinya data keberhasilan yang diklaim pemerintah memang masih perlu diperiksa kesahihannya," tegas dia.
Fadli menilai kalau pemerintah Jokowi agaknya kembali masuk dalam jebakan ala Revolusi Hijau saat menyusun kebijakan sektor pertanian, karena kemudian yang dikejar hanyalah target produksi pangan, sehingga mengabaikan banyak hal penting, seperti kesejahteraan petani, serta pentingnya memperhatikan soal kedaulatan.
Ia mencontohkan, untuk meningkatkan produksi jagung misalnya, pemerintah bekerja sama dengan Bayer-Monsanto untuk penyediaan benih. Begitu juga untuk padi.
Pada 2017, sekitar 300 ribu ton benih berasal dari korporasi (60%), dan sisanya berasal dari perusahaan benih BUMN (40%).
"Dengan fakta-fakta ini, jangan heran jika keuntungan dalam peningkatan produksi pangan kemudian tak lagi dinikmati oleh petani, melainkan dinikmati oleh korporasi. Pemerintah seolah tak melihat bahwa kedaulatan piring makan kita seharusnya dimulai dari kedaulatan benih dan pupuk," katanya.
Sepanjang 2017, Fadli juga belum melihat pemerintah serius mengerjakan agenda reforma agraria. Padahal, masalah utama petani di pedesaan adalah ketimpangan penguasaan, kepemilikan dan pemanfaatan tanah.
Ketimpangan justru semakin melebar, khususnya dalam tiga dekade terakhir. Sumber-sumber agraria di pedesaan kini dikuasai oleh korporasi.
Sayangnya, pemerintah kemudian menerjemahkan agenda reforma agraria sebagai agenda bagi-bagi sertifikat tanah. Padahal, bagi mereka yang belajar kajian agraria, tahapan awal dari reforma agraria adalah registrasi tanah. Tujuannya adalah untuk mengetahui tingkat ketimpangan pemilikan tanah, sedang sertifikasi adalah tahapan paling akhir.
"Bukankah menggelikan di satu sisi pemerintah menjanjikan reforma agraria, namun tanah obyek reforma agrarianya sendiri tidak jelas?" katanya.
Yang lebih ironis, menurut Fadli, selama masa pemerintahan Jokowi, konflik agraria justru meningkat drastis karena selama tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK, menurut data KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria), terjadi sebanyak 1.361 konflik agraria. Dari jumlah tersebut, 659 konflik agraria terjadi pada 2017.
"Dibanding tahun 2016, konflik agraria yg terjadi pada 2017 meningkat hingga 50 persen. Semoga catatan buruk ini tak bertambah lagi pada 2018," pungkasnya. (rhm)







