Jakarta, Harian Umum - Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah mengatakan sangkaan makar polisi kepada Sekretaris Jenderal Forum Umat Islam (FUI) Muhammad Al Khaththath penanggungjawab aksi demo 313 pada Kamis, 30 Maret 2017 yang menuntut agar Ahok dipenjara karena dianggap menistakan agama sebagai dagelan.
Menurut dia, tidak layak orang yang rapat untuk berdemo dituding melakukan upaya makar.
"Perbedaan pendapat jangan dilarang, diskusi jangan dilarang, serta niat demo dan sebagainya jangan dilarang. Itu halal semuanya. Legal semuanya," katanya, Rabu, 5 April 2017, saat ditemui di Universitas Negeri Jakarta.
Dia mengatakan tudingan lain polisi bahwa Al Khaththath mendorong dilakukannya Sidang Istimewa MPR juga sebagai sesuatu hal yang mustahil. Sebab, sidang istimewa hanya bisa dirancang elite politik.
"Demonstran yang merancang sidang istimewa tidak masuk akal," kata dia.
Fahri menduga tindakan polisi atas sangkaan makar datang dari pesanan. Dia juga meminta ahli tata negara bersuara terkait dengan tudingan tersebut.
"Ini ahli tata negara diam saja, sih, ya. Seharusnya, ahli tata negara ngomong, dong, bahwa ini lelucon dan tidak ada yang salah," ucapnya.
Dia membandingkan sikap pemerintah saat ini dengan era presiden ke-6 Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono. Menurut Fahri, SBY merupakan orang yang berlatar belakang militer dan jenderal bintang empat. Saat mengahadapi demonstrasi menuntut penarikan mandat dengan membawa kerbau bertuliskan huruf SBY, tapi pemerintah saat itu tidak menjebloskan demonstran ke penjara dengan tuduhan makar.
Karena itu, Fahri menduga ada orang yang menghibur Presiden Joko Widodo dengan cara yang salah. Sayangnya, kata dia, Presiden terhibur dengan cara yang salah.
"Saya takut ini, kenapa Presiden terhibur dengan cara yang salah ini? Stoplah polisi ini, hentikan," ucapnya.
Fahri juga meminta polisi tidak merusak lembaga kepolisian dengan membuat tuduhan makar dengan mengada-ada masa dana untuk makar 18 juta rupiah. Jangankan Rp 3 miliar yang belum terbukti kebenarannya, anggaran APBN sekitar Rp 2 triliun pun tidak bisa menciptakan revolusi.
"Rp 3 miliar uangnya belum ada lagi. Yang terkumpul Rp 18 juta. Pokoknya ini dagelan. Polisi bikin rusak nama polisi. Saya kesal sama Pak Tito, nih. Jangan begini, dong," katanya.
tempo.co