Jakarta, Harian Umum- Ketua Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) Habiburrokhman mengatakan, pekan depan pihaknya akan menggugat Ombudsman RI secara class action ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, karena ditengarai menerapkan standar ganda dalam menangani laporan yang diterima lembaga itu.
"Pada Senin minggu depan kami akan mendaftarkan gugatan class action terhadap Ombudsman Republik Indonesia ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kami menduga bahwa Ombudsman telah menerapkan standar ganda dalam memeriksa laporan yang masuk dari masyarakat," katanya melalui siaran tertulis, Rabu (28/3/2018).
Ia menyebut, setidaknya ada dua kasus yang menjadi acuan ACTA yang menjadi dasar argumentasi gugatan.
Pertama, laporan anggota ACTA Ali Lubis pada 1 Maret 2018 soal dugaan malaadministrasi terkait adanya pertemuan Presiden Jokowi dengan petinggi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang di anyaranya membahas soal pemenangan Pilpres.
Dasar pelaporan tersebut, menurut Habiburrokhman, sangat kuat karena Istana sebagai pusat pengendalian pelayanan publik tentu tidak boleh digunakan untuk kepentingan politik praktis sekelompok orang saja.
"Namun laporan tersebut nyaris ditolak Ombudsman dengan berbagai dalih, antara lain karena ACTA tak punya AD/ART. Yang paling parah, Ombudsman mengolok-olok kami sebagai pelapor dengan mengatakan ke media bahwa kami hanya curhat karena tidak menyebutkan identitas terlapor, padahal dalam UU Ombudsman tidak ada aturan harus mencantumkan terlapor. Tindakan Ombudsman ini adalah contoh yang sangat buruk bagi pelayanan publik dimana laporan nyaris ditolak dan pelapor diolok-olok," katanya.
Yang kedua, kasus dugaan malaadministrasi penataan Tanah Abang. Tidak jelas siapa pelapor kasus ini, tapi Ombudsman bisa bergerak sangat cepat dan mengumumkan telah terjadi dugaan maladministrasi.
"Kami tidak melihat bahwa kasus Tanah Abang merupakan domain Ombudsman karena tidak menyangkut pelayanan publik sebagaimana diatur dalam UU Ombudsman dan UU Pelayanan Publik. Selaian itu Pemerintah DKI Jakarta memiliki kewenangan untuk melakukan diskresi sebagaimana dijamin pasal 6 ayat (2) huruf e UU Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan," imbuhnya.
Ketua DPP Partai Gerindra ini tegas mengatakan, terlihat ada perbedaan dalam penanganan kedua kasus tersebut. Di satu sisi Ombudsman begitu lamban dan terkesan berusaha menolak laporan ACTA, tapi di sisi lain Ombudsman bisa begitu agresif mengusut kasus Tanah Abang meski termasuk diskresi yang legal.
"Kami khawatir publik akan menilai Ombudsman hanya tajam terhadap pemerintah DKI Jakarta, namun tumpul memeriksa laporan terkait Istana," kecamnya.
Habib menyebut, ada tiga tuntutan yang diajukan ACTA dalam gugatan class action ini;
1. Agar Ombudsman dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum,
2. Agar ombudsman dihukum untuk melakukan evaluasi dan perbaikan penanganan seluruh laporan
3. Agar Ombudsman meminta maaf kepada rakyat Indoensia secara terbuka.
Seperti diketahui, pertemuan Presiden Jokowi dengan petinggi PSI di Istana Negara, Jakarta, pada 1 Maret 2018 lalu untuk membahas soal pemenangan Pemilu sempat memicu kritik dan kecaman karena Istana Negara merupakan aset negara, dan penggunaan aset untuk kepentingan politik praktis dinilai tidak etis.
Di sisi lain, meski tidak ada yang melaporkan kebijakan Gubernur Anies Baswedan menutup Jalan Jatibaru Raya dalam penataan kawasan Tanah Abang, Ombudsman telah meyatakan bahwa Pemprov DKI telah melakukan malaadministrasi dan memberikan rekomendasi yang harus dilaksanakan.
Dirjen OTDA Kemendagri Sumarsono mengatakan, jika rekomendasi tidak dilasanakan, Anies bisa kena sanksi sebagaimana diatur dalam PP No 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. (rhm)







