Jakarta, Harian Umum- Komite Pencegahan Korupsi (KPK) DKI Jakarta melimpahkan laporan masyarakat tentang adanya dugaan korupsi di Unit Pengelola (UP) Perparkiran dan kesewenang-wenangan yang dilakukan pimpinannya.
Laporan dilimpahkan ke Tim Gubernur Untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP).
"Apa yang dilaporkan itu bukan kompetensi KPK DKI, karena kompetensi kami adalah di bidang pencegahan terjadinya korupsi," kata Ketua KPK DKI Bambang Widjojanto kepada harianumum.com di kantornya, Kompleks Balaikota, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Kamis (26/7/2018).
Mantan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI ini menambahkan, selain hal tersebut, laporan dilimpahkan karena data yang diberikan saat dilaporkan, tidak lengkap dan tidak valid, sehingga KPK DKI kala itu meminta agar data dilingkapi. Terutama terkait dugaan adanya korupsi di UP Perparkiran.
"Nanti TGUP yang akan memanggil pihak-pihak terkait di UP Perparkiran, dan memberikan rekomendasi (ke Gubernur). KPK DKI tak bisa mengeluarkan rekomendasi, karena yang diadukan itu bukan kompetensi KPK DKI," tegasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Pengamat Kebijakan Publik Amir Hamzah meminta Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan mengevaluasi kinerja Kepala Unit Pengelola (UP) Perparkiran Tiodor Sianturi, karena pejabat ini diduga telah menyalahgunakan wewenang, sehingga bukan hanya berpotensi merugikan keuangan Unit Kerja Perangkat Daerah (UKPD) yang dipimpinnya, namun juga merugikan pegawai tetap di UKPD tersebut.
"Sebenarnya pola kepemimpinan Ibu Tiodor itu telah dilaporkan ke KPK (Komisi Pencegahan Korupsi) DKI Jakarta pada Maret 2018, namun sampai sekarang tidak ada tindak lanjutnya," jelas dia kepada harianumum.com di Jakarta, Selasa (24/7/2018).
Penyalahgunaan wewenang tersebut antara lain dilakukan dengan memotong
Dari data yang dipaparkan Amir diketahui kalau pada 2018 ini dari pengelolaan parkir on street, UP Perparkiran menargetkan pemasukan sebesar Rp111 miliar. Naik lebih dari 100% dari realisasi penerimaan pada 2017 yang mencapai Rp52 miliar.
Penyalahgunaan wewenang dilakukan dengan memotong remunerasi pegawai tanpa dasar hukum, karena adanya temuan BPK, karena pengelolaan 35 titik parkir milik PD Pasar Jaya merugi,dan karena penerapan TPE (Terminal Parkir Elektronik) di sejumlah ruas jalan di Jakarta, antara lain di Jalan Pinangsia Raya, Pecenongan dan Sabang, mengalami defisit.
Pemotongan terhadap total kompensasi yang diterima pegawai sebagai imbalan atas jasa yang dikerjakannya itu dipastikan tidak berdasar hukum karena tidak diatur dalam SK Gubernur Nomor 916 Tahun 2013 yang menetapkan UP Perparkiran sebagai Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), dan juga tidak diatur dalam SK Gubernur Nomor 531 Tahun 1979 tentang Pertanggungjawaban kepada Gubernur dan Sekretaris Daerah yang menjadi acuan sistem kerja UP.
"Justru SK Gubernur Nomor 916 mengatur bahwa pegawai UP yang terdiri dari PNS dan non PNS itu setiap bulan tidak hanya menerima gaji, tapi juga remunerasi," tegas Amir.
Sementara dugaan korupsi muncul karena saat UP Perparkiran membeli 201 unit TPE (Terminal Parkir Elektronik) untuk parkir on street di jalan-jalan tertentu di Jakarta, seperti Jalan Pinangsia dan Jalan Sabang, BLUD ini menghabiskan dana hingga Rp25 miliar karena setiap unit TPE dibeli dengan harga Rp143 juta.
Biasanya, jelas Ketua Budgeting Metropolitan Watch (BMW), untuk pembelian sebanyak itu ada diskon dari pabrikan minimal 10%, dan juga biasanya ada fee sekitar 2,5%. Namun untuk pembelian produk Malaysia tersebut keduanya tak ada.
"Bahkan ada kabar kalau pembelian ini dilakukan tanpa melalui mekanisme lelang, dan 70% dari produk yang dibeli itu tidak dapat digunakan secara efektif," jelas Amir.
Dugaan korupsi di UP Perparkiran juga muncul karena sejak kepala Tiodor Sianturi diangkat menjadi kepala UP Perparkiran pada Desember 2014, dalam tiga tahun anggaran pembelian seragam untuk 2.600 juru parkir tidak dikucurkan, sehingga para juru parkir itu membeli sendiri dengan cara mengkredit kepada kordinator lapangannya masing-masing. (rhm)