Konawe Selatan, Harian Umum - Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Andolo, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara (Sultra) menjatuhkan vonis bebas kepada terdakwa Supriyani, guru honorer SD Negeri 4 Baito yang didakwa melakukan kekerasan fisik terhadap siswa kelas 1 di sekolahnya.
Vonis bebas itu dibacakan pada sidang yang digelar hari ini, Senin (25/11/2024).
"Satu, menyatakan Terdakwa Supriyani tidak terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana kekerasan fisik terhadap murid kelas 1 SD di Kecamatan Baito, Konawi Selatan sebagaimana dalam dakwaan alternatif satu dan dakwaan alternatif kedua jaksa penuntut umum. Kedua, membebaskan terdakwa oleh karena itu dari semua dakwaan penuntut umum," kata majelis hakim saat membacakan amar putusan.
Selain itu, majelis hakim juga memulihkan nama baik, kedudukan, serta martabat Supriyani.
Putusan itu membuat Supriyani menangis, sementara para rekan dan koleganya yang hadir di persidangan memberikan selamat sambil memeluk guru honorer itu.
Kuasa hukum Supriyani, Andri Darmawan, menyatakan bersyukur karena kliennya divonis bebas.
"Mudah-mudahan dengan kasus Ibu Supriyani ini, dengan vonis bebas tadi, juga menjadi hadiah atau kado, kebetulan hari ini hari guru. Luar biasa bahwa hari ini hari PGRI, hari guru, Ibu Supriyani diputuskan tidak bersalah," ujar Andri.
Kronologi kasus
Kasus Supriyani ini merupakan kasus yang menjadi sorotan publik karena diduga mengandung unsur kriminalisasi dengan bukti yang cenderung sumir.
Kasus bermula ketika pada tanggal 25 April 2024 Aipda Wibowo Hasyim, anggota polisi sekaligus orang tua dari seorang siswa kelas 1 di SDN 4 Baito, melaporkan Supriyani ke Polsek Baito atas dugaan penganiayaan terhadap anaknya itu.
Berdasarkan keterangan Aipda Wibowo, laporan diajukan setelah ibu korban melihat ada bekas luka memar di paha belakang anaknya. Namun, Supriyani membantah tuduhan ini karena ia tidak mengajar di kelas korban dan tidak pernah berinteraksi langsung dengan anak tersebut.
Namun, Polsek Baito tetap memproses laporan tersebut, dan setelah berbulan-bulan proses hukum berjalan, kasus ini memasuki babak baru pada 16 Oktober 2024, ketika Supriyani resmi ditahan Kejaksaan Negeri Konawe Selatan dan ditempatkan di Lapas Perempuan Kendari.
Penahanan ini memicu perbincangan luas di media sosial, terutama setelah beberapa kalangan mempertanyakan urgensi penahanan dalam kasus yang melibatkan tuduhan penganiayaan terhadap seorang guru. Pihak kepolisian menyatakan bahwa proses hukum ini sudah dijalankan dengan prinsip keadilan, tetapi pihak Supriyani dan beberapa tokoh publik mengkritisi tindakan tersebut.
Pada sidang tanggal 28 Oktober 2024 di Pengadilan Negeri Andolo, tim kuasa hukum Supriyani mengajukan eksepsi yang menolak dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ujang Sutisna yang juga merupakan kepala Kejaksaan Negeri Konawe Selatan.
Kuasa hukum Supriyani, Andre Darmawan, menyebut bahwa prosedur hukum yang dijalankan mengandung pelanggaran etik, karena pelapor dan penyidik berasal dari kantor yang sama, yaitu Polsek Baito. Andre juga menambahkan bahwa ada dugaan permintaan uang damai sebesar Rp50 juta dari pihak korban kepada Supriyani, sebuah praktik yang dianggapnya melanggar prosedur hukum.
Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni, angkat bicara terkait penanganan kasus ini. Ia meminta Propam Polda Sultra untuk melakukan pemeriksaan terhadap penyidik kasus ini secara objektif tanpa intervensi.
“Propam harus konkret, harus ada tindakan, jangan cuma sekedar jadi tempat mengungkap kronologi,” kata Sahroni pada tanggal 29 Oktober 2024).
Selain itu, Sahroni mendorong agar opsi restorative justice dijadikan prioritas untuk menghindari tindakan kriminalisasi berlebihan. (man)