Jakarta Harian Umum - Pengesahan RUU Omnibus Law Kesehatan oleh DPR pada Selasa (11/7/2023), langsung berdampak, setidaknya bagi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI).
Pasalnya, kewenangan mereka dalam menerbitkan Surat Tanda Registrasi (STR), Surat Izin Praktek (SIP) dan Surat Kredit Profesi (SKP) dicabut dan dialihkan kepada Menteri Kesehatan.
Pencabutan itu tertuang dalam RUU Kesehatan yang kini telah menjadi undang-undang (UU), sebagaimana diungkap Wakil Ketua Komisi IX DPR, Melkiades Laka Lena di DPR, Senin (10/7/2023).
"Regulasi baru STR, SIP, SKP kewenangan Menteri Kesehatan," katanya.
Dengan demikian, pencabutan ini menempatkan IDI dan PDGI tak lagi sebagai wadah tunggal profesi dokter.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin membeberkan alasan mengapa ketiga kewenangan penerbitan Str, SIP dan SKP dicabut dari IDI dan PGI.B. Kata dia, keputusan diambil setelah pemerintah berdiskusi dengan banyak tenaga dokter terkait sulitnya dan subjektivitas pemberian rekomendasi sebelum mereka berpraktik.
Keluhan disebut banyak didapatkan dari para dokter muda.
"Saya bicara dengan banyak dokter muda, saya bicara dengan dokter yang ada di luar kota-kota besar, mereka menyatakan bahwa untuk mendapatkan izin praktik di luar kota besar itu susah, banyak yang menceritakan susahnya seperti apa, prinsip dari disusunnya UU ini adalah kita mau simplifikasi perizinan," kata dia dalam konferensi pers, Selasa (11/7/2023).
Dia menyebut, jika perizinan bisa satu, mengapa dibuat dua seperti misalnya STR dan SIP?
"Kalau syaratnya lima, kenapa sih nggak dibikin dua? Kalau misalnya kita lihat substansinya, apa rekomendasi dari OP (organisasi profesi) itu tidak dipindahkan? Jadi kita hapuskan. Itu untuk menjaga bagaimana kita tahu etikanya bagus atau tidak," lanjut Menkes.
Ia kemudian bercerita tentang banyaknya dokter yang selama ini mendapatkan persetujuan berpraktik di RS dengan penilaian subjektif seorang senior, karena penilaian masih dilakukan secara personal.
Dan menurut dia, hal ini tentu merugikan sejumlah dokter yang kerap mendapatkan penilaian sangat subjektif.
"Kalau ketemu oknum yang tidak baik, tidak suka, atau ada nepotisme, dia bisa tidak diberikan dan izinnya akan sangat sulit. Itu terjadi di banyak kota," katanya.
Ia juga mengatakan kalau kejadian semacam ini berulang dan tidak kunjung mendapatkan penyelesaian. Karenanya, melalui undang-undang yang baru, penilaian perizinan praktik terkait etik masing-masing Nakes tidak lagi dilakukan secara individu, melainkan masuk ke dalam sebuah sistem yang bisa diawasi secara transparan.
"Semua dokter yang punya masalah etik, nanti kan ada majelis etik, masukkan ke sana secara transparan. Mereka dijalankan prosedurnya, dan mereka boleh membela diri kan kalau mereka tidak beretika," kata dia. (man)