Jakarta, Harian Umum - Penasehat Fraksi Gerindra DPRD DKI Jakarta, Inggard Joshua, menyarankan pegawai tetap non PNS di Unit Pengelola Perparkiran (UPP) yang mengalami pemotongan remunerasi agar melapor ke Inspektorat.
"Kalau pada tahun 2017 juga terjadi pemotongan remunerasi dan dapat diselesaikan dengan melapor ke Inspektorat, sebaiknya melapor lagi saja ke sana," kata Inggard melalui telepon, Selasa (2/4/2026).
Menurut Wakil Ketua Komisi A DPRD DKI Jakarta ini, jika ingin menyelesaikan suatu permasalahan, dan sebelumnya telah ada permasalahan yang sama yang dapat diselesaikan dengan suatu cara, maka cara itu sebaiknya dilakukan lagi.
"Itu saja saran saya," katanya.
Seperti diberitakan sebelumnya, pegawai tetap non PNS di UPP DKI Jakarta mengeluh karena remunerasi ya dipotong Rp2,5 juta hingga Rp3 juta pada Januari dan Februari 2024, dan dipotong Rp1 juta hingga Rp4 juta pada Maret 2024.
"April ini akan dipotong lagi," kata Ragil, staf UPP yang juga merupakan pegawai tetap non PNS.
Pihak UPP mengatakan kalau pemotongan itu dilakukan demi efisiensi, karena pagawai-pegawai itu tidak mencapai target pada tahun 2023 lalu.
Namun, Ragil mempertanyakan alasan UPP itu karena katanya, hitungan kebutuhan anggaran mencapai Rp65 miliar, tetapi target hanya Rp59 miliar, sementara pencapaian pendapatan Rp57,8 miliar berdasarkan Pergub Nomor 148 Tahun 2010.
Dengan beban 137 orang pegawai tetap non PNS pada tahun 2023, sambung Ragil, maka dengan komposisi 60% untuk belanja pegawai dan 40% untuk belanja barang dan jasa, alokasi biaya pegawai mencapai Rp34,5 miliar dari pendapatan sebesar Rp57,8 miliar tersebut, sementara untuk belanja barang dan jasa sebesar Rp23,3 miliar.
Namun, karena jumlah pegawai tetap non PNS pada 2023 sebanyak 137 orang, anggaran yang terserap untuk pembayaran gaji, remunerasi, BPJS, THR, gaji ke-13 dan pesangon hanya Rp32 miliar, sehingga terjadi surplus/saldo Rp2,5 miliar.
"Darimana tidak terpenuhinya? Itu alasan mereka saja," tegas Ragil.
Ia juga mengkritik penggunaan anggaran barang dan jasa yang mencapai Rp23,3 miliar. Sebab, kata dia, saat ini dari 15 mesin TPE (Terminal Parkir Elektronik) yang berada di lapangan, hanya 3 yang berfungsi.
Rusaknya mesin TPE itu membuat pengambilan data pendapatan dilakukan secara manual, tidak terintegrasi, sehingga rawan manipulasi.
"Kalau pengelolaannya begini, bagaimana pendapatan parkir bisa baik?" kritiknya.
Dari Ragil pula diketahui kalau pemotongan remunerasi juga terjadi pada 2017 yang berujung dicopotnya kepala UPP saat itu oleh gubernur. (rhm)