Jakarta, Harian Umum - Kebijakan pemerintah yang mewajibkan pengguna ponsel untuk melakukan registrasi ulang dengan mengirimkan nomor KTP dan nomor induk kependudukan (NIK) diyakini dapat menekan penipuan via SMS dan penyebaran hoax serta ujaran kebencian.
"Nggak nyambung kalau ada yang mengatakan bahwa kebijakan itu untuk kepentingan pihak tertentu yang ingin memenangkan Pilpres 2019, karena calon yang membutuhkan dukungan masyarakat yang dibuktikan dengan KTP adalah calon independen, sementara di Pilpres 2019 gak ada calon independen," tegas anggota Komisi I DPR RI Roy Suryo dalam diskusi bertajuk "Ketik REG data aman" di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (4/11/2017).
Politisi Partai Demokrat itu mengaku mendukung 1.000% kebijakan pemerintah tersebut, karena setiap pemilik kartu prabayar yang sudah melakukan registrasi ulang dengan mencantumkan nomor NIK dan KTP, akan berpikir dua kali kalau akan melakukan hal-hal yang merugikan orang lain, termasuk melakukan penipuan via SMS, penyebaran hoax dan penyebaran ujaran kebencian.
Sebab, kata politisi yang juga pakar telematika itu, data kependudukannya kini tercatat di Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil), sehingga ketika dia melakukan hal-hal negatif seoerti itu melalui ponselnya, jati dirinya akan cepat terlacak.
"Jadi yang mengaitkan registrasi ulang dengan Pilpres 2019, menurut saya gak cerdas dalam membuat hoax," tegasnya.
Hal senada dikatakan Plt Direktur Fasilitasi Pemanfataan Data dan Dokumen Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri David Yama.
Ia memastikan bahwa kebijakan registrasi ulang dengan menyertakan nomor KTP dan NIK ini tidak terkait dengan unsur politik, melainkan karena bertujuan untuk melaksanakan pembangunan secara baik dan benar.
"Dengan registrasi ulang ini penipuan via SMS dan telepon dapat dicegah," katanya.
Ia mencatat, dari 360 juta kartu prabayar yang saat ini aktif, hingga Sabtu pagi yang telah diregistrasi ulang mencapai 38 jutaan. Jumlah ini diyakini akan terus bertambah karena tempo registrasi ulang yang diberikan pemerintah adalah selama empat bulan, terhitung sejak kebijakan diberlakukan pada 31 Oktober 2017 silam.
Meski demikian pakar keamanan cyber dari CISSRec Pratama Persadha mengingatkan pemerintah agar data kependudukan pengguna ponsel yang sudah melakukan registrasi ulang, diamankan karena baru-baru ini 46 juta data sim card warga Malaysia dijebol pihak yang tidak bertanggung jawab.
"Kalau Malaysia yang sudah punya Badan Cyber saja data kependudukannya bisa dijebol, apalagi Indonesia yang belum punya badan semacam itu," katanya.
Ia memastikan bahwa jika data kependudukan dapat dijebol, maka dampaknya akan sangat luas karena hal ini mencakup keamanan negara. (rhm)