Jakarta, Harian Umum - Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PB PDGI) mengeluarkan surat edaran yang isinya antara lain menyatakan akan mengajukan judicial review Undang-undang (UU) Kesehatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) bersama organisasi profesi (OP) kesehatan yang lain.
Surat edaran yang ditandatangani Ketua Umum PB PDGI Usman Sumantri dan Sekjen PB PDGI Tari Tarayati itu diterbitkan Kamis (13/7/2023) dengan nomor SE/775/PB PDGI/VII/2023 perihal UU Kesehatan.
"PDGI akan meneruskan perjuangan bersama Organisasi Profesi lainnya menempuh jalur hukum JUDICIAL REVIEW," kata PB PDGI pada poin kedua surat edaran tersebut.
Pada poin pertama, PB PDGI menyatakan, sehubungan dengan disahkannya UU Kesehatan pada Rapat Paripurna DPR pada 11 Juli 2023, organisasi PDGI dari tingkat pusat sampai cabang, beserta seluruh badan fungsional, dan ikatan peminatan keahlian/peminatan tetap berjalan seperti biasa, sehingga kolegium di bawah PDGI serta Ikatan Keahlian masih berjalan seperti biasa; penyelenggaraan kegiatan ilmiah dengan SKP PDGI masih berjalan seperti biasa, perolehan SKP akan dapat dikonversikan; dan perpanjangan Sertifikat Kompetensi masih berjalan seperti biasa sampai ada pengaturan lebih lanjut.
"Seluruh dokter gigi Indonesia mohon dapat tetap bersatu dalam satu wadah PDGI, jangan sampai hal-hal buruk dari dampak Undang Undang Kesehatan justru terjadi pada organisasi PDGI," sebut poin ketiga surat edaran tersebut.
Pada poin keempat, PB PDGI mengucapkan terima kasih atas perjuangan serta aspirasi seluruh pengurus serta anggota dan sejawatnya.
"Mohon maaf atas hasil yang tidak sesuai dengan harapan kita bersama," katanya.
Seperti diketahui, PDGI termasuk OP Kesehatan yang getol menyuarakan penolakan terhadap RUU Kesehatan yang disahkan DPR menjadi undang-undang pada Selasa (11/7/2023).
Bersama empat OP yang lain, yakni Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), PDGI berkali-kali menggelar unjuk rasa di DPR, termasuk ketika RUU Kesehatan akan disahkan.
Ada beberapa alasan mengapa PDGI, IDI, IBI, IAI dan PPNI menolak RUU itu, di antaranya karena meyakini kalau RUU yang kini telah menjadi UU itu dibuat untuk kepentingan investor, sehingga kebijakan-kebijakan yang diatur di dalamnya tidak pro rakyat, bahkan merugikan, sebagaimana tercermin dari penghapusan mandatory spending yang pada UU sebelumnya ditetapkan sebesar 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD di luar gaji.
Selain itu, UU ini juga menghapus keharusan mendapatkan rekomendasi dari OP Kesehatan untuk mendapatkan Surat Izin Praktik (SIP), sehingga dikhawatirkan akan memicu munculnya perilaku-perilaku yang melanggar etika oleh tenaga kesehatan; dan membuka pintu selebar-lebarnya bagi dokter asing berpraktik di Indonesia. (man)