Jakarta, Harian Umum - Direktur Gerakan Perubahan yang juga merupakan Koordinator Indonesia Bersatu, Muslim Arbi, meminta Kejaksaan Agung (Kejagung) agar juga mengusut putusan PTUN yang menolak gugatan PDIP terhadap KPU terkait penerimaan pencalonan Gibran Rakabuming Raka pada Pilpres 2024.
Pasalnya, Muslim melihat ada yang janggal pada putusan yang pembacaannya sempat ditunda dari tanggal 10 Oktober ke 24 Oktober 2024 itu.
"Saya merasa ada yang aneh, karena sebelumnya KPU telah divonis melanggar etik, dan ketua beserta para wakilnya diberi teguran keras oleh DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) karena menerima pendaftaran Gibran sebagai Cawapres sebelum Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 diubah, tapi kok PTUN menolak gugatan PDIP? Padahal perkaranya sama, yakni karena KPU menerima pencalonan Gibran sebelum PKPU Nomor 19 diubah,' kata Muslim di Jakarta, Sabtu (26/10/2024).
Aktivis senior ini curiga ada sesuatu di balik putusan itu. Terlebih karena hanya disebabkan ketua majelis hakimnya sakit, pembacaan putusan tanggal 10 Oktober 2024 ditunda ke tanggal 24 Oktober 2024. Padahal, putusan dibacakan melalui e-court, bukan sidang langsung dalam ruangan.
"Ini harus diusut Kejaksaan Agung. Apalagi pada 11 Oktober 2024, pakar hukum tatanegara Jimly Asshiddiqie kepada media mengatakan bahwa hakim PTUN bisa ditangkap kalau membatalkan pelantikan Gibran,' katanya.
Muslim menilai, pernyataan Jimly itu merupakan ancaman bagi hakim PTUN yang menangani gugatan PDIP, dan menurut dia pernyataan Jimly itu keliru.
"Sesuai Undang-undang Kehakiman, hakim tidak bisa dipidana karena putusannya, kecuali kalau ada unsur pidana seperti suap, gratifikasi atau lainnya. Karena itu, bukan saja hakim-hakim PTUN yang menangani gugatan PDIP yang harus diperiksa Kejaksaan Agung tapi Jimly juga," tegas Muslim..
Ia mengingatkan tentang gerak cepat Kejagung dalam menangkap 3 hakim PN Surabaya yang memvonis bebas terdakwa kasus pembunuhan, setwlah dari hasil penyelidikannya, Kejagung menemukan bukti bahwa ketiga hakim itu menerima suap untuk membebaskan Ronald Tannur, sang terdakwa yang merupakan anak seorang politisi PKB.
Suap diberikan melalui kuasa hukum terdakwa, yaitu Lisa Rachman, yang juga telah ditangkap dan dijadikan tersangka.
Bahkan Kejagung juga menangkap seorang mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) karena menjadi perantara suap untuk majelis hakim agung MA yang menangani pengajuan kasasi jaksa yang tak terima Tannur divonis bebas oleh PN Surabaya.
"Kalau untuk kasus kriminal seperti itu saja Kejagung turun tangan, untuk gugatan PDIP yang terkait dengan kepentingan negara, seharusnya juga turun tangan," tegas Muslim.
Ia menilai, kalau Kejagung diam saja untuk perkara sepenting ini, maka publik akan curiga bahwa memang ada pihak-pihak yang berkepentingan dengan Pencawapresan Gibran, yang tak ingin Gibran gagal menjadi Wapres.
"Dan Kejagung pun dapat dicurigai telah juga diintervensi dan dibuat takut," katanya
Seperti diketahui, ada empat warga yang menggugat KPU ke DKPP karena menerima pencawapresan Gibran di saat PKPU Nomor 19 Tahun 2023 belum direvisi. PKPU itu mengatur bahwa usia Capres/Cawapres minimal 40 tahun, sementara Gibran kala itu baru 36 tahun.
Ketiga warga tersebut adalah Demas Brian Wicaksono yang gugatannya diregistrasi sebagai perkara Nomor 135-PKE-DKPP/XII/2023, Iman Munandar B dengan gugatan yang diregistrasi sebagai perkara nomor 136-PKE-DKPP/XII/2023, H Hariyanto yang gugatannya diregistrasi sebagai perkara nomor 137-PKE-DKPP/XII/2023), dan Rumondang Damanik yang gugatannya diregistrasi sebagai perkara Nomor 141-PKE-DKPP/XII/2023.
Namun, meski gugatan mereka diterima, DKPP tidak merekomendasikan agar pencawapresan Gibran dibatalkan, sehingga DKPP dikritik publik.
KPU baru merevisi PKPU Nomor 19 Tahun 2023 sekitar sepekan setelah pencawapresan diterima dengan mengubahnya menjadi PKPU Nomor 23 Tahun 2023. Dalam.PKPU ini syarat Capres/Cawapres telah diubah sesuai putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXII/2023 yang menetapkan usia Capres/Cawapres tak lagi minimal 40 tahun, melainkan siapapun bisa asalkan telah/sedang menduduki jabatan yang diperoleh melalui Pemilu, termasuk jabatan kepala daerah. Putusan KPU inilah yang meloloskan Gibran menjadi Cawapres di usianya yang baru 36 tahun, karena saat itu Gibran menjabat sebagai walikota Solo
Putusan .MK Nomor 90 itupun kontroversial karena MK tidak punya kewenangan membuat atau mengubah UU, akan tetapi melalui putusan itu MK mengubah pasal 169 huruf q UU Pemilu yang mengatur bahwa usia Capres/Cawapres minimal 40 tahun.
Putusan MK itu membuat ketuanya, yakni Anwar Usman, dicopot Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang dipimpin Jimly Asshiddiqie karena dinilai melanggar kode etik berat.
Tapi anehnya, Jimly pun tidak membatalkan putusan yang melanggar etik berat itu.
Karenanya, tak heran kalau keikutsertaan Gibran di Pilpres 2024 dinilai cacat hukum, karena diduga merupakan hasil konspirasi antara pihak-pihak yang ingin Gibran menjadi Cawapres, termasuk Jokowi yang kala itu masih menjadi presiden, dengan lembaga-lembaga terkait yang seharusnya dapat berpijak kuat pada aturan perundang-undangan dalam menjalankan tugas dan fungsinya. (rhm)