Jakarta, Harian Umum- Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma'ruf Amin diminta mengundurkan diri dari jabatannya demi menjaga independensi lembaga yang dipimpinnya itu.
Pasalnya, sejak Badan Pertimbangan Ideologi Pancasila (BPIP) dibentuk Presiden Jokowi dan Ma'ruf didapuk menjadi anggota Dewan Pengarah badan tersebut, Ma'ruf diduga telah berubah menjadi corong pemerintah. Termasuk dalam kasus penistaan agama yang dilakukan Sukmawati Soekarnoputri.
"Ada satu pertanyaan yang muncul dengan duduknya KH Ma’ruf Amin dalam BPIP yang dibentuk berdasarkan Perpres No 54 Tahun 2017 tanggal 19 Mei 2017 itu. Yakni, sampai sejauhmana Pak Kyai dapat menjaga independensinya sebagai ketua umum MUI, karena saat ini dia juga duduk di lembaga yang langsung di bawah Presiden," ujar Darby Jusbar Salim dari NKS Consult, melalui siaran tertulis, Sabtu (7/4/2018).
Ia mengingatkan bahwa MUI adalah Ormas keagamaan yang didirikan oleh 10 Organisasi Islam, 4 Unsur Badan Rohani TNI/Polri dan 13 orang Cendekiawan/Tokoh Muslim terkemuka pada 17 Rajab 1395 H atau 26 Juli 1975.
Pada Pedoman Dasar MUI, di Muqaddimahnya, dijelaskan mengenai posisi keberadaan MUI, yakni sebagai Waratsatulanbiya’ atau pewaris Nabi dan khadamul ummah (pelayan umat). Lembaga ini merupakan lembaga independen sebagaimana tercantum pada pasal 3 Pedoman Dasar tersebut.
Pada pasal 4 butir 4 dijelaskan, salah satu fungsi MUI adalah sebagai pemberi fatwa kepada umat Islam dan pemerintah, baik diminta maupun tidak diminta.
Fungsi ini diperjelas pada jelaskan pasal 6 ayat (3) yang menyebutkan bahwa fungsi MUI adalah memberikan peringatan, nasehat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada masyarakat dan pemerintah dengan bijak (hikmah) dan menyejukkan.
Sementara pasal 6 ayat (6) menyebut, MUI menjadi penghubung antara ulama dan umara (pemerintah), dan penterjemah timbal balik antara pemerintah dan umat guna mencapai masyarakat berkualitas (khaira ummah) yang diridhai Allah SWT (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur).
Misi utama MUI adalah menjadi Lembaga Da’wah Islamiyah yang melaksanakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
"Selama ini MUI berjalan dengan baik, sesuai
Pedoman Dasar, namun keadaan menjadi berbeda ketika KH Ma'ruf Amin sebagai ketua umumnya, saat ini berada di lingkungan Unit Kerja di bawah Presiden dan menjadi Sub-Ordinate Presiden, karena independensinya mulai terganggu dan diragukan. Bagaimana ia akan memberi peringatan kepada Presiden dan Pemerintah, jika ia berada di dalam, dan menjadi bagian dari kebijakan Presiden itu sendiri?" tanya Darby.
Ia ragu, sebagai ketua umum MUI, Ma'ruf Amin dapat “memarahi” Presiden bila melakukan kemungkaran, seperti misalnya melanggar UU yang merugikan umat. Padahal sebagai ketua umum MUI, dia tetap punya tanggung jawab untuk memberi peringatan dan menegakan amar ma’ruf nahi munkar.
"Jadi, dalam hal ini jelas sekali ada dua kepentingan yang bertabrakan," tegasnya.
Ia mencontohkan sikap Ma'ruf yang tidak lagi independen, yakni ketika Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto berpidato mengenai banyaknya maling, sehingga anggaran bocor. Ma’ruf langsung berkomentar dengan meminta Prabowo untuk tidak melempar isu yang macam-macam, sementara di sisi lain di memuji-muji kinerja Jokowi yang katanya bagus dengan moto kerja kerja kerjanya.
"Dari moment ini, kita jadi bertanya-tanya; bukankah tugas Pak Kiayi di bidang Ideologi Pancasila? Mengapa ia berkomentar mengenai hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan tugas pokoknya di BPIP?" imbuh Derby.
Ia menilai kalau saat ini Ma'ruf seolah-olah telah menjadi corong Jokowi, bahkan terkesan sudah menggantikan fungsi juru bicara Kepresidenan yang dijabat oleh Johan Budi, karena yang seharusnya menanggapi pidato Prabowo itu memang Johan Budi, bukan tugas seorang Dewan Pengarah BPIP seperti dirinya.
Ia bahkan bertanya-tanya, apakah Ma’aruf telah menutup mata terhadap kenyataan bahwa di negeri ini memang banyak maling alias koruptor sebagaimana yang disampaikan oleh Prabowo?
"Oleh karenanya, agar tidak terjadi benturan kepentingan, sebaiknya KH Ma’ruf Amin memilih salah satu jabatan; tetap sebagai ketua umum MUI atau tetap di BPIP. Bila ingin tetap bertahan di BPIP, Pak sebaiknya segera melepaskan jabatannya sebagai ketua umum MUI, demi kebaikan MUI dan kebaikan ummat secara keseluruhan," tegasnya.
Seperti diketahui, belakangan ini, seiring dengan meledaknya kasus penistaan agama Islam oleh Sukmawati Soekarnoputri, reaksi Ma'ruf tentang kasus ini pun mengejutkan karena dia meminta umat Islam memaafkan Sukmawati.
"Beliau sesungguhnya tidak ada niatan menghina Islam. Oleh karena itu beliau minta maaf dan hari ini menemui kami menyampaikan maafnya untuk disampaikan ke khalayak, khususnya umat Islam," kata Ma'ruf usai menerima Sukmawati di kantor MUI, Kamis (5/4/208).
Sukmawati dituduh menista Islam karena dalam puisi berjudul 'Ibu Indonesia' yang dia ciptakan sendiri dan dibacakan saat gelaran Indonesia Fashion Week 2018, dia membndingkn cadar dengan tusuk konde dan menganggap suara senandung Ibu Indonesia lebih merdu dari suara adzan.
Pernyataan Ma'ruf itu kontan membuat umat Islam meradang, termasuk anggota Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI Abdul Chair Ramadhan. Saat aksi di depan Bareskrim Polri, Jumat (6/4/2018) yang menuntut agar Bareskrim segera memproses kasus penistaan agama oleh Sukmawati, ia memgimbau kepada ribuan peserta aksi agar tidak mempedulikan pernyataan Ma'ruf itu.
"Saya minta kita tidak perlu menghiraukan seruan Ketua MUI Ma'ruf Amin. Saya ahli hukum MUI. Saya tidak terima. Saya siap berhadapan dengan siapapun," katanya.
Abdul bahkan mengatakan, pernyataan Ma'ruf itu tidak bernilai di hadapan hukum, dan dia mendesak Bareskrim untuk melanjutkan proses hukum, meski Sukmawati sudah menyampaikan permintaan maaf. (man)