Banten, Harian Umum- Sedikitnya 20 orang tewas, 165 luka-luka dan 2 orang hilang akibat tsunami yang menghantam wilayah pesisir Serang dan Pandeglang, Provinsi Banten, serta pesisir Lampung Selatan, pada Sabtu (22/12/2018) sekitar pukul 21:27 WIB.
Tsunami ini dipicu longsor di bawah laut akibat erupsi Gunung Anak Krakatau.
Semula, Badan Metreologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) mengklaim gelombang laut yang menerjang pesisir pantai di wilayah Barat Banten dan Lampung Selatan itu merupakan gelombang tsunami, karena pada saat air laut naik dan menghantam wilayah-wilayah itu, BMKG tidak mencatat adanya aktifitas gempa bumi dari Gunung Anak Krakatau, dan menyebutnya sebagai gelombang pasang akibat bulan purnama.
"Benar, ada tsunami yang menerjang pantai di Selat Sunda pada 22/12/2018, 20.27 WIB. Penyebab tsunami bukan gempabumi. Namun kemungkinan adanya longsor bawah laut pengaruh erupsi Gunung Anak Krakatau. Bersamaan dengan adanya gelombang pasang akibat bulan purnama," kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho melalui akun Twitternya, @Sutopo_PN, Minggu (23/12/2018) pagi.
Sutopo bahkan menghapus twit sebelumnya yang menyatakan bahwa tak ada tsunami di Pandeglang, Serang dan Lampung Selatan semalam.
"Saya mohon ijin. Twitt di awal yang mengatakan tidak ada tsunami saya hapus. Agar tidak membingungkan. Kesalahan awal terjadi karena mengacu data dan informasi dari berbagai sumber bahwa tidak ada tsunami. Namun sudah direvisi karena mengacu data dan analisis terbaru," katanya melalui akun Twitter itu.
Melalui siaran persnya, BMKG menegaskan bahwa tsunami yang menghantam pesisir pantai Pandeglang, Serang dan Lampung Selatan itu tidak dipicu gempabumi.
Pada pukul 21:27 WIB, BMKG mendeteksi dan memberikan peringatan dini gelombang tinggi pada 22 Desember 2018 pukul 07:00 WIB hingga 25 Desember 2018 pukul 07:00 WIB akibat cuaca, di wilayah perairan Selat Sunda.
"Pada pukul 09:00-11:00 WIB terjadi hujan lebat dan angin kencang di wilayah Anyer," imbuh Kepala BMKG Dwikorita Kurnawati dalam rilis tersebut.
BMKG mengaku, pada Sabtu (22/12/2018) pukul 21:03 WIB sempat berkoordinasi dengan Badan Geologi, dan melaporkan bahwa Gunung Anak Krkatau kembali erupsi, sehingga peralatan seismometer setempat rusak, tapi seismic Dtasiun Sertung merekam adanya getaran tremor terus menerus , namun tidak ada frekuensi tinggi yang mencurigakan.
"Berdasarkan rekaman seismik dan laporan masyarakat, tsunami yang melanda pesisir Serang dan Pandeglang tidak disebabkan oleh aktifitas gempabumi tektonik, namun sensor Cigeulis (CGJI) mencatat adanya aktivitas seismic dengan durasi sekitar 24 detik dengan frekuensi 8-16 Hz pada pukul 21:03:24 WIB," imbuh Dwikorita.
Berikut hasil pengamatan BMKG atas tidegauge (gelombang pasang saat purnama) pada saat kejadian. BMKG merekamnya dari empat titik, yakni:
1. Pantai Jamu Desa Bulakan, Kecamatan Cinangka, Kabupaten Serang, Banten, pada pukul 21:27 WIB. Ketinggian tsunami 0,9 meter.
2. Pelabuhan Ciwandan dan , Banten, pada pukul 21:33 WIB. Ketinggian tsunami 0,35 meter.
3. Desa Kota Agung, Kecamatan Kota Agung, Lampung, pukul 21:35 WIB. Ketinggian tsunami 0,36 meter.
4. Pelabuhan Panjang, Kecamatan Panjang, Kota Bandar Lampung, pukul 21:53 WIB. Ketinggian tsunami 0,28 meter.
"Feomena tsunami di Selat Sunda termasuk langka. Letusan Gunung Anak Krakatau juga tidak besar. Tremor menerus, namun tidak ada frekuensi tinggi yang mencurigakan. Tidak ada gempa yang memicu tsunami saat itu. Itulah sulitnya menentukan penyebab tsunami di awal kejadian," jelas Sutopo.
Ia menduga, tsunami di Pandeglang dan Lampung Selatan kemungkinan akibat kombinasi longsor di bawah laut yang dipicu erupsi Gunung Anak Krakatau dan gelombang pasang saat purnama.
"BMKG masih meneliti lebih jauh untuk memastikan penyebab tsunami," tegasnya.
Data terbaru menyebutkan, hingga Minggu (23/12/2018) pagi, jumlah korban tewas telah bertambah menjadi 23 orang, sementara yang luka-luka mencapai 200 orang lebih. (rhm)