POLITIK dinasti dan kekuasaan yang di bangun Jokowi dengan sekuat apapun tinggal menunggu kehancuran.
------------------------
Oleh: Muslim Arbi
Direktur Gerakan Perubahan
Keputusan Jokowi mencapreskan Gibran adalah keputusan yang salah dan fatal.
Keputusan meloloskan Gibran melalui upaya paksa Ketua Mahkamah Konsitusi (MK), dengan memaksakan keputusan MK mem-by pass UU soal usia telah membuat Anwar Usman yang adalah paman dan ipar Jokowi terhempas dari kursi kekuasaannya sebagai ketua MK.
Saat ini. Gibran telah ditetapkan sebagai Cawapres mendampingi Prabowo Subianto sebagai Capres-Cawapres dengan nomor urut 2 pada Pilpres 2024.
Keputusan itu beraroma politik dinasti, dan Anti Demokrasi. Meski Jokowi menggunakan kekuasaannya meloloskan Gibran dan didukung sejumlah ketua umum partai, sebagian adalah menteri di kabinetnya.
Publik anggap itu melukai demokrasi dan tirani. Juga merusak demokrasi dan Konsitusi. Bahkan dicurigai sebagai dukungan "beraroma money politic", serta di bawah tekanan. Konon bandrolnya besar?
Cara Jokowi "memaksa" sejumlah menteri di kabinetnya untuk mendukung pencapresan Prabowo - Gibran dapat dianggap sebagai tindakan abuse of power, penggunaan kekuasaan untuk kepentingan politik dinastinya. Ini merusak demokrasi dan juga konsitusi.
Untuk selamatkan dinasti politiknya, segala perangkat kekuasaan di pemerintahan: TNI-Polri, ASN, para menteri dan kepala daerah, juga camat - lurah/kepala desa mau dimobilisasi untuk menangkan pasangan Prabowo-Gibran?
Rasanya sulit terpenuhi dan mencapai target sebagaimana Pilpres 2019 lalu yang dituding curang dan sejumlah bukti sering diviralkan di publik.
Bahkan Megawati Soekarnoputri sebagai Ketum PDIP dalam dalam salah satu pidato politiknya, keceplosan akui ada kecurangan Pilpres di waktu lalu.
Saat ini, Panja Soal keterlibat TNI - Polri - ASN para menteri, kepala daerah, camat, dan lurah/kepala desa sedang dirancang.
Dengan demikian akan mengunci penggunaan kekuasaan untuk memenangkan pasangan yang didukung oleh Jokowi.
Meski Jokowi telah nyatakan cawe-cawe demi bangsa dan negara, tapi publik menafsirkan demi anak-anak, keluarga dan ambisi kekuasaannya.
PDIP yang telah membesarkannya selama ini juga telah tabuh genderang perang dengan memecat mantunya, Bobby Nasution, sebagai kader PDIP yang menghantarkannya menjadi walikota Medan. Juga telah memecat Budiman Sujatmiko, kadernya yang lain, yang telah menyebrang ke Prabowo.
Belum lagi pencawapresan Gibran juga mendapat kritikan dari Ketua Umum Nasdem, Surya Paloh, yang selama ini setia mendukung Jokowi sebagai Presiden sejak 2014.
PDIP juga didesak keras oleh publik untuk memecat Jokowi dan Gibran yang telah ambil alur dukungan politik di luar Capres Ganjar. Jika tidak lakukan pemecatan Jokowi-Gibran; dianggap sebagai sandiwara belaka.
Sejumlah Tokoh dan Budayawan yang dipimpin oleh Gunawan Muhammad, soroti keras politik dinasti yang sedang di bangun Jokowi. Bahkan Gus Mus sang Begawan Sastra dan pimpinan Pondok Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang, berteriak lewat puisi-nya: Soal Politik Dinasti.
Sejumlah musisi dan seniman juga telah menjadikan Politik Dinasti Jokowi sebagai olok-olokan.
Jadi, sentimen dan isu politik dinasti Jokowi telah merambah bukan saja di kalangan politisi dan aktivis, tetapi juga telah menjadi isu di kalangan tokoh-tokoh budaya, seni dan sastera yang berpengaruh.
Bahkan sejumlah di kampus, mahasiswanya mulai memasang spanduk: Anti Politik Dinasti yang di bangun Jokowi. Spanduk menyebar di sejumlah titik di Ibukota Jakarta.
Politik dinasti dan kekuasaan yang di bangun Jokowi dengan sekuat apapun tinggal menunggu kehancuran.
Jokowi tidak mengira kalau Mencawapreskan puteranya, Gibran Rakabuming Raka, akan menuai kebencian masyarakat akan politik dinasti yang dibangunnya.
Dan itu keputusan salah yang akan menghancurkan diri dan kekuasaannya.
Margonda Raya: 20 Nopember 2023