Jakarta, Harian Umum - Aliansi Organisasi Mahasiswa Kesehatan Indonesia (AOMKI), Jumat (7/7/2023), menggelar aksi unjuk rasa di depan gedung DPR/MPR, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Pusat, untuk menyuarakan aspirasi agar para wakil rakyat yang berkantor di gedung itu menunda pengesahan Omnibus Law RUU Kesehatan.
Aksi aliansi tersebut diwakili oleh 7 Ikatan Organisasi Mahasiswa Kesehatan, Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC), Organisasi Kaum Muda, dan kelompok masyarakat sipil dengan jumlah massa lebih dari 100 orang.
Sebelum tiba di depan gedung DPR/MPR, massa terlebih dahulu berkumpul di depan gedung TVRI, Jalan Gerbang Pemuda, Senayan, Jakarta Pusat, dan kemudian long march ke gedung wakil rakyat tersebut.
Saat massa tiba di depan gedung DPR/MPR sekitar pukul 14:45 WIB, hujan turun dengan deras, tetapi mereka tidak membubarkan diri dan tetap berorasi dengan menggebu-gebu.
"Hal ini kami melakukan aksi karena aspirasi dan masukan yang diberikan mahasiswa, kaum muda, dan kelompok masyarakat sipil terkait Omnibus Law RUU Kesehatan hanya ditanggapi secara normatif oleh DPR.” kata koordinator aksi, Nadhir Wardhana, dalam orasinya.
Selain itu, kata dia, transparansi publik terkait RUU itupun hanya sebatas formalitas. Padahal, dalam draft Omnibus Law RUU Kesehatan yang ditetapkan pada rapat kerja tanggal 19 Mei 2023 itu dan akan dibawa ke sidang paripurna untuk disahkan, terdapat poin-poin krusial dan mendasar yang tidak berpihak kepada masyarakat yang utamanya dalam menjamin peningkatan derajat kesehatan masyarakat dan menjawab tantangan kesehatan masyarakat di masa mendatang.
"Apabila pemerintah benar-benar berkomitmen untuk melindungi masyarakat Indonesia, seharusnya RUU Kesehatan ini hadir dengan substansi yang konkrit, yang dapat memastikan masyarakat hidup sehat, tetap sehat, dan bertambah sehat melalui pengendalian atas hal-hal yang berisiko menimbulkan masalah kesehatan di masyarakat," tegas Nadhir.
Ia juga mengeritik Omnibus Law RUU Kesehatan karena tidak memberikan kepastian adanya dukungan
anggaran setelah adanya penghapusan Mandatory Spending.
"Tentu hal ini kontradiktif dengan wacana perbaikan dan penguatan sistem kesehatan nasional. Upaya penghapusan Mandatory Spending menunjukkan Pemerintah lepas tangan untuk menjamin dan memastikan tersedianya pembiayaan kesehatan yang berkesinambungan dengan jumlah yang mencukupi, terealisasi secara adil, dan termanfaatkan secara berhasil serta berdaya guna untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan agar meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya yang sebelumnya telah diperjuangkan dalam Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang kesehatan,” bebernya
Berikut tuntutan aliansi dalam aksinya tersebut:
1. Pemerintah dan DPR RI mengedepankan asas keterbukaan dan partisipasi masyarakat yang bermakna selama penyusunan Omnibus Law RUU Kesehatan,
membuka kepada publik naskah terbaru RUU Kesehatan serta memberikan penjelasan terhadap masukan-masukan yang sudah diberikan sebelumnya.
2. Mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk menunda pengesahan Omnibus Law RUU Kesehatan sampai dengan:
a. Terdapat pengaturan determinan kesehatan, yaitu lingkungan dan pengendalian zat adiktif rokok secara konkrit, bukan sekadar formalitas termasuk diantaranya melarang iklan, promosi dan sponsorship rokok serta memberikan batasan ruang bebas merokok.
b. Mengatur dan meningkatkan anggaran dalam mandatory spending dalam Omnibus Law RUU Kesehatan.
“Kami mendesak Presiden Jokowi dan DPR RI untuk menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan atau Omnibus Law sektor Kesehatan, dan menolak tidak transparannya proses penyusunan, partisipasi yang tidak bermakna, serta mengesampingkan hal krusial dan mendasar,” pungkas Nadhir. (man)