Jakarta, Harian Umum- Satu lagi kebijakan mantan Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat yang bermasalah dan diterbitkan menjelang politisi PDIP ini lengser keprabon pada 15 Oktober 2017, muncul ke permukaan.
Kali ini kebijakan tersebut berupa Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI No 1887 Tahun 2017 tentang Standar Satuan Harga Penyedia Jasa Lainnya Orang Perorangan yang ditandatangani pada 11 Oktober 2017.
Keberdaan surat ini terungkap dalam rapat Pansus Honorer K2 DPRD DKI Jakarta di Gedung Dewan, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Senin (5/2/2018).
"SK gubernur ini menghilangkan bagian administrasi dan pengawasan dari rumpun, sehingga terjadi penempatan tugas tidak sesuai dengan sistem pengupahan," jelas Ery Iskandar, pegawai honorer K2 dari Dinas Sumber Daya Air (SDA).
Ia mencontohkan, seorang honorer K2 bernama Desy yang bertugas di bagian administrasi, digaji oleh bagian Satgas, sementara pegawai honorer K2 bernama Roy yang bekerja di bagian Humas, digaji oleh bagian lain.
Meski demikian, 98 pegawai honorer K2 yang semula bekerja di Dinas Pekerjaan Umum (DPU) dan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) ini kemudian dipecah menjadi Dinas Bina Marga dan SDA, tidak mengalami perubahan penghasilan.
Sebanyak 39 pegawai honerer K2 yang ditempatkan di Dinas Bina Marga dan 59 pegawai honorer K2 yang ditempatkan di Dinas SDA, tetap digaji sesuai UMP.
Yang memprihatin yang dialami pegawai honorer K2 di Dinas Lingkungan Hidup. Dalam rapat itu terungkap, akibat penugasan yang tidak sesuai sistem pengupahan, penghasilan mereka merosot dari semula digaji di atas UMP, kini di bawah UMP.
"Dulu gaji saya Rp4 jutaan, sekarang Rp3 jutaan," ujar pegawai honorer K2 dari Dinas Lingkungan Hidup tersebut.
Dalam rapat ini juga terungkap betapa karut marutnya penanganan sumber daya manusia (SDM) di lingkungan Pemprov DKI, karena 340 pegawai honorer K1 yang bekerja sebagai pengamanan dalam (Pamdal) di lima kantor walikota, akibat kelalaian Badan Kepegawaian Daerah (BKD), tidak diangkat menjadi PNS pada 2004 dan statusnya kini merosot menjadi pegawai honorer K2.
Menurut Tarmizi, koordinator Pamdal di lima kantor walikota, kegagalan itu terjadi karena surat edaran tentang kebijakan pemerintah pusat mengangkat pegawai honorer menjadi CPNS, tidak sampai ke mereka. Padahal, sebagai pegawai honorer K1 dan digaji dengan dana dari APBD, mereka tak perlu mengikuti tes dan secara otomastis dapat langsung diangkat menjadi PNS.
"Saya juga nggak mengerti bagaimana itu bisa terjadi," katanya.
Persoalan lain yang dihadapi pegawai honorer K2 di Pemprov DKI adalah, mereka yang sudah bekerja selama belasan, bahkan puluhan tahun, diperlakukan sama dengan pegawai honorer baru.
"Kami setiap tahun dites untuk perpanjangan kontrak. Gaji pun sama dengan mereka. Ini tidak adil," kata Soleha, pegawai honorer K2 yang telah bekerja selama 14 tahun di Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora).
Sebanyak 11.049 pegawai honorer K2 yang tersebar di puluhan SKPD di lingkungan Pemprov DKI, yang dalam rapat tersebut diwakili rekan-rekannya dari SKPD yang sama, meminta Pansus agar mendorong Gubernur Anies Baswedan untuk mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) yang isinya menghapus kebijakan mengikuti tes yang diselenggarakan setiap tahun hanya untuk perpanjangan kontrak, dan memprioritaskan mereka untuk diangkat menjadi PNS.
Hal ganjil lain dalam penanganan SDM di DKI adalah, sesuai ketentuan Kementerian Pemberdayaan Aoarayur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), yang digaji dengan dana dari APBD adalah yang berstatus honorer K1, namun yang berstatus K2 pun ternyata digaji dengan dana dari APBD.
Atas banyaknya masalah di bidang SDM ini, Ketua Pansus Honorer K2 Merry Hotma menyatakan akan memanggil SKPD-SKPD yang mempekerjakan para honorer K2 itu, dan juga BKD (Badan Kepegawaian Daerah).
Ia mengakui kalau penanganan SDM di Pemprov DKI tertinggal oleh Semarang, Surabaya dan Malang. Terindikasi oleh banyaknya pejabat yang tidak visioner, minim perencanaan kerja dan minim perencanaan konsep.
Karena itu, katanya, Pansus akan berupaya menyelesaikan permasalahan para pegawai honorer K2 ini, karena SDM merupakan kunci bagi kemajuan Pemprov. Apalagi, katanya, Jakarta sebagai ibukota negara merupakan teras Indonesia.
"Kalau penanganan SDM-nya saja seperti ini, bagaimana Jakarta bisa nggak kalah dari daerah lain?" katanya.
Politisi PDIP ini menilai, tak ada masalah kalau saat rekrutmen pegawai terjadi kolusi, asalkan pegawai yang diangkat semuanya berkualitas.
Seperti diketahui, sebelumnya pengusaha reklame konvensional juga mengeluhkan kebijakan Djarot yang tertuang dalam peraturan gubernur (Pergub), karena kebijakan Djarot itu mematikan usaha mereka.
Anies bahkan mengatakan kalau saat ini pihaknya tengah mengkaji delapan Pergub buatan Djarot yang ditengarai bermasalah, untuk direvisi atau bahkan dicabut. (rhm)