JAKARTA, HARIAN UMUM - Pemprov DKI Jakarta didesak mengambil alih pengelolaan enam ruas tol dalam kota yang saat ini dikuasai oleh swasta. Sebab enam ruas tol dinilai berpotensi mendatangkan keuntungan. Hal itu dikatakan Direktur Eksekutif Jakarta Public Service (JPS) M Syaiful Jihad.
"Padahal sebelumnya saat awal pembangunan enam ruas jalan tol sekitar 2005 silam, Pemprov DKI mengajukan prakarsa pembangunan Jalan Tol kepada Menteri PUPR melalui dua perusahaan daerah, yakni Jakpro dan Pembangunan Jaya yang menguasai saham enam ruas jalan tol masing-masing 50 persen. Namun, entah mengapa, dalam perjalanannya, saat ini pengelolaan enam ruas jalan tol dikuasai pihak swasta, dalam hal ini Jakarta Toll Road Development (JTD)," kata Syaiful kepada wartawan.
Apalagi menurut Syaiful, dalam pembangunannya, ada kejanggalan dari sisi pembiayaan biaya konstruksi jalan dan belanja tanah. Seharusnya melalui melalui mekanisme prakarsa, dua biaya tersebut menjadi beban pihak yang mengajukan prakarsa. Namun meminta pemprov untuk menggelontorkan anggaran daerah hingga Rp 1 triliun lebih pada tahun anggaran 2017-2019 untuk belanja tanah yang notabene merupakan aset pemprov DKI, untuk mendukung proyek tersebut ditambah lagi dukungan dari pemerintah pusat untuk biaya pembebasan tanah. Seharusnya biaya tanah tersebut menjadi beban PT. JTD.
"Dengan memperhatikan bahwa Pemprov DKI sudah mengeluarkan anggaran untuk kepentingan enam ruas tol DKI, sudah sepatutnya enam ruas jalan tol itu dikelola BUMD dan hasilnya dipergunakan untuk menambah pendapatan daerah. Jadi, saat ini waktu yang tepat bagi pemprov, untuk kembali menguasai pengelolaan enam ruas jalan tol dalam kota Jakarta," katanya.
Selain itu, Syaiful mengungkapkam dalam perjalanan proyek ini banyak terjadi hal-hal yang merugikan pemerintah. "Seperti desain konstruksi jalan tol yang tidak sesuai dengan patok trase yang telah dipasang oleh Dinas Cipta Karya dan tata Ruang sesuai dengan Penetapan Lokasi dari Gubernur DKI, yang akhirnya mengakibatkan penambahan waktu penyelesaian pengadaan tanah, Biaya operasional pengadaan tanah yang menjadi beban APBN menjadi bertambah dan uang yang telah dibelanjakan untuk lokasi yang tidak jadi dimanfaatkan menjadi sia-sia," ujarnya.
Lebih lanjut kata Syaiful, alasan lain yang memperkuat pemprov untuk dapat mendapatkan pengelolaan enam ruas jalan tol dalam kota, adalah tak kunjung selesainya proyek tersebut. Berdasarkan jadwal, harusnya proyek sudah harus selesai 2015 lalu, namun sampai sekarang tak kunjung rampung. "Mundur terus penyelesaian proyek oleh JTD, sehingga sudah sepatutnya kalau PPJT 6 ruas tol di batalkan saja oleh BPJT (Badan Pengelola Jalan Tol) kementrian PUPR, karena dianggap merugikan keuangan negara, dilakukan lelang ulang agar proyek nya segera selesai.
Bukan itu saja, Syaiful juga menuturkan, proyek tersebut diduga merugikan keuangan negara dari BOP yang bertambah karena design yang berubah dari JTD. "Jadi harusnya Presiden Jokowi mencoret saja dari daftar Proyek Strategis Nasional, karena di Jakarta yg diperlukan bukan tol, tapi transportasi publik," tegasnya.
Adapun terkait izin penetapan lokasi Pembangunan Jalan Tol Dalam Kota Jakarta Ruas Sunter Pulogebang akan berakhir akhir Juli ini. Itu berdasarkan Keputusan Gubernur No 1741 Tahun 2019 tentang Perpanjangan Penetapan Lokasi untuk Pembangunan Jalan Tol Dalam Kota Jakarta Ruas Sunter Pulogebang. "Kami menyarankan Pemprov DKI jangan memperpanjang lagi izin penetapan lokasi, sebelum pemprov memperoleh kembali apa yang menjadi haknya, yakni pengelolaan enam ruas jalan tol dalam kota," tandas Syaiful. (Zat)