Jakarta, Harian Umum- Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) melalui kuasa hukumnya, Yusril Ihza Mahendra, Selasa (5/6/2018), akan mengajukan memori banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang menolak seluruh gugatan HTI terhadap Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) yang mencabut Surat Keputusan Badan Hukum Perkumpulan (SK BPH) organisasi itu.
Pengajuan ini menyusul permohonan banding yang diajukan pada 16 Mei 2018 silam.
"Memori banding akan kita ajukan besok kepada PTTUN melalui Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta," kata Yusril dalam jumpa pers di kantornya, Kota Kasablanka, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (4/6/2018).
Yusril mengakui, pihaknya tidak dapat menerima putusan PTUN yang dibacakan 7 Mei 2018 silam, karena pihaknya menilai putusan itu dibuat berdasarkan pendapat sembilan ahli yang dihadirkan Kemenkumham selama persidangan, bukan berdasarkan keterangan dua saksi yang dihadirkan lembaga negara itu, sehingga praktis putusan dibuat berdasarkan opini, bukan fakta persidangan.
"Kedua saksi sendiri mengatakan, mereka pernah mengikuti kegiatan yang diselenggarakan HTI, tapi mereka tidak pernah melihat HTI mengobarkan semangat anti Pancasila, anti UUD 1946 dan ingin membubarkan NKRI. Sementara pemerintah melalui Kemenkumham mencabut SK BPH HTI justru menuduh HTI anti Pancasila dan anti NKRI karena ingin mendirikan khilafah," imbuh Yusril.
Yang juga disayangkan Yusril, majelis hakim PTUN mengabaikan keterangan saksi dan ahli yang dihadirkan pihaknya, yang antara lain menjelaskan bahwa khilafah merupakan ajaran Islam, dan apa yang diajarkan HTI tidak melenceng dari ajaran agama ini dan tidak membahayakan NKRI.
"Karena itu kami mengajukan banding karena kami menilai ada kesalahan hakim dalam memutus perkara ini, juga melanggar aturan perundang-undangan serta melanggar asas pemerintahan yang baik," tegasnya.
Ketika ditanya bagaimana jika banding pun nanti ditolak? Yusril menegaskan pihaknya akan mengajukan kasasi.
"Yang pasti untuk mencapai putusan inkracht (putusan tetap dan mengikat), ini prosesnya akan panjang, karena kalau kasasi juga ditolak, kita ajukan PK (peninjauan kembali)," katanya.
Meski demikian pakar hukum tatanegara yang juga ketum Partai Bulan Bintang (PBB) ini berseloroh, kalau di 2019 Indonesia punya presiden baru, masalah HTI bisa saja langsung selesai karena ia sendiri mengendus kalau ada intervensi penguasa di balik putusan PTUN.
Maklum, pemerintahan Jokowi yang berkuasa saat ini memang Pemerintahan yang cenderung anti Islam. HTI dibubarkan setelah Presiden Jokowi menerbitkan Perppu Ormas yang kontroversial itu, karena diyakini menargetkan umat Islam dan Ormas Islam. HTI adalah korban pertama. (rhm)