Jakarta, Harian Umum- Da'i nasional Fahmi Salim menilai, kubu petahana di Pilpres 2019, Jokowi-Ma'ruf Amin telah melakukan politisasi agama dan SARA yang luar biasa, sehingga masalah kesalehan yang sesungguhnya masuk area privat, juga dipolitisasi.
"Politisi agama dan SARA oleh petahana luar buasa, sehingga masalah ritual kesalehan yang merupakan area privat, dipolitisasi untuk pencitraan politik," katanya dalam diskusi bertajuk 'Jelang Pilpres Jokowi Blunder dan Panik?" di Seknas Prabowo-Sandi, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (12/2/2019).
Ia menambahkan, akibat politisasi agama yang luar biasa ini, setiap Jumat di grup WhatsApp yang ia miliki selalu muncul tagar #PrabowoJumatanDimana.
Tak hanya itu, akibat politisasi agama, ketika ijtima ulama memilih Prabowo sebagai Capres dan Salim Segaf Al Jufri serta Ustad Abdul Somad sebagai Cawapres, kubu petahana menjadikan ketua MUI KH Ma'ruf Amin sebagai Cawapres agar dapat menarik pemilih Muslim.
"Tapi invisible hand atau tangan Tuhan bekerja, karena Prabowo memilih Sandiaga Uno, dan ijtima ulama setuju. Kejadian ini menunjukkan dengan jelas siapa sesungguhnya yang mempolitisasi agama," imbuhnya.
Ia juga menyebut, politisasi agama yang luar biasa itu juga terlihat dari adanya statemen-statemen kubu 01 yang mengagung-agungkan Jokowi dalam beribadah, sehingga Menko Maritim Luhut Panjaitan bahkan mengatakan bahwa Jokowi rajin sembahyang, dan sebelah sana (Prabowo) tidak jelas.
Menurut Fahmi, meragukan ke-Islam-an seseorang utuk dimainkan di ranah politik merupakan tindakan yang tidak etis dan tidak pantas, karena ritual kesalehan dalam bentuk ibadah merupakan urusan individu dengan Tuhan-nya, bukan urusan individu dengan individu lainnya.
"Lagipula kesalehan individu harus berbanding lurus dengan kesalehan sosial dan kesalehan publik, sehingga bisa dirasakan manfaatnya, namun yang terjadi di era pemerintahan ini justru ada gelombang umat Islam yang sangat besar (melalui Aksi Bela Islam dan Aksi Bela Tauhid), dan ini baru pertama kali ini terjadi di Indonesia," katanya.
Fahmi bahkan melihat, akibat politisasi agama yang luar biasa ini, muncul fenomena kekuatan doa menjadi barometer politik, dan ini menjadi tamparan keras bagi kaum sekuler yang memisahkan agama dengan kehidupan bernegara.
Fenomena ini muncul saat Capres petahana Jokowi berkunjung ke Ponpes Al Anwar milik KH Maimoen Zubeir di Rembang, Jawa Tengah. Kala itu, saat memimpin doa, KH Maimoen mendoakan Prabowo agar memenangkan Pilpres, bukan mendoakan Jokowi yang duduk di sebelahnya. Akibatnya, kyai sepuh NU itu ditegur Ketua Umum PPP M Romahurmuziy, dan KH Maimoen meralat doanya.
"Jadi, saat ini doa menjadi hal yang penting untuk dapat memenangkan Pilpres, sehingga sekarang ada doa politik dan politik doa," katanya.
Ia pun mengingatkan agar masalah kesalehan tidak terus dijadikan komoditas politik, karena ibadah yang digembar-gemborkan merupakan perbuatan riya, dan tercela di mata Allah SWT.
"Saya berharap, meski ulama identik dengan doa, ulama jangan diposisikan sebagai tukang doa. Jadikanlah ulama sebagai bagian dari penentu kebijakan, jangan dijadikan sebagai pemadam kebakaran," pungkasnya. (rhm)