Jakarta, Harian Umum- Mantan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Natalius Pigai menuding kebijakan-kebijakan Presiden Jokowi di Papua telah memicu tragedi kemanusiaan yang mengandung unsur pelanggaran HAM berat, bahkan mengarah ke genosida.
Dia juga menuding kejahatan itu selama ini ditutup-tutupi media-media mainstream pendukung Jokowi dengan melansir berita-berita bohong tentang pembangunan di tanah kelahirannya itu.
"Mungkin inilah kesempatan pertama pada halaman depan (headline) Kompas, media mainstream Nasional, merilis tragedi kemanusiaan di Papua berjudul “ Bencana Kesehatan di Asmat”. Itulah fakta berbicara. Sehebat-hebatnya Harian Kompas menjadi pion pemerintah selama 3 tahun Jokowi memimpin negeri, namun hujan fakta tidak bisa dibendung dengan payung pencitraan," kata mantan Komisioner Komnas HAM periode 2012-2017 itu melalui akun Facebook-nya, dan menjadi viral di media sosial, Minggu (14/1/2018).
Ia menyebut, selama tiga tahun kepemimpinan Jokowi, bangsa Indonesia disuguhi informasi yang berlebihan tentang pembangunan Papua.
Media-media mainstream mengabarkan, dengan kehadiran Jokowi, di Papua dibangun jalan, jembatan, gedung-gedung pencakar langit, jembatan yang melintasi laut, jalan-jalan bebas hambatan, dan rel kereta api.
Bangsa Indonesia juga dihipnotis dengan berbagai pemberitaan bahwa di Papua konektivitas darat, laut dan udara terjalin, kota-kota di Papua dimetamorfosis sepeti Jakarta, Yogya, Semarang dan Surabaya.
"Kata Jokowi, ekonomi rakyat Papua makin membaik, derajat kesehatan lebih baik, pendidikan lebih baik. Jokowi presiden terbaik sepanjang Republik ini berdiri. Itulah jargon-jargon kunci media pendukung pemerintah selama ini, termasuk Kompas," imbuhnya.
Namun hari ini, tegas Pigai, fakta berbicara lain; kematian bayi akibat busung lapar dan gizi buruk di Asmat yang dilis Kompas, sebenarnya telah memukul balik Presiden Jokowi bahwa semua yang diucapkan oleh pemerintah selama ini omong kosong. Berita ini bisa menjadi pintu masuk untuk membuka borok pemerintah, kejahatan dan kematian tersembunyi rakyat Papua di balik pencitraan yang selama ini berlebihan.
Pigai menyebut, selama kepemimpinan Jokowi, di Papua terjadi beberapa tragedi kemanusiaan:
1. Kasus Paniai 8 Desember 2014 yang tercatat sebagai kejahatan kemanusiaan (gross violation of human right), dan termasuk dalam kategori pelanggaran HAM berat, namun sayangnya berkas kasus ini terhenti di Komnas HAM.
"Kasus Paniai adalah salah satu hasil produk rezim kepemimpinan Joko Widodo, dan sebagai kepala negara, Jokowi tidak bisa lepas tanggung jawab (commander resposibilities) karena bagaimana pun juga Jokowi menambah satu berkas pelanggaran HAM berat di Komnas HAM," tegas dia.
2. Adanya penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang, penyiksaan/penganiayaan (torture) dan pembunuhan (kilings) terhadap lebih dari 6.000 orang Papua.
3. Berdasarkan hasil penyelidikan beberapa lembaga internasional, diduga terjadi genocida secara perlahan melalui berbagai kebijakan (slow motion genocide) di Papua. Dipertanyakan, apakah ini dilakukan dengan sadar atau sengaja (by commision) atau Jokowi sebagai kepala negara dengan sengaja melakukan Pembiaran (by ommision)?
4. Rentetan kematian bayi di Papua.
Pada tahun 2015, sebanyak 71 bayi di Kecamatan Mbuwa, Kabupaten Nduga, meninggal, dan Kementerian Sosial sunyi-sunyi saja, namun oleh Menteri Kesehatan disebabkan oleh penyakit busung lapar dan kurang gizi.
"Namun banyak laporan lain menyebutkan, kematian bayi-bayi itu karena mengonsumsi makanan tertentu yang dibagikan oleh pihak-pihak luar, dan sampai saat ini penyebab kematian 71 bayi itu masih menjadi misteri," imbuhnya.
Pigai juga mengungkapkan, pada 2016 dan 2017 sebanyak 60 bayi meninggal di Kabupaten Deiyai akibat kekurangan gizi dan busung lapar, serta penyakit menular.
"Hari ini hidup orang Papua terancam di negerinya sendiri," keluh Pigai.
Ia juga mengungkap fakta mengerikan yang lain yang terjadi di Papua. Katanya, di Indonesia, setiap pemimpin di Papua kalau tidak racuni dan dimatikan, selalu berakhir di terali besi.
Menurut catatannya, tokoh-tokoh Papua Melanesia yang hebat sebagai pejabat negara ataupun pemimpin rakyat, tetap akan diracuni dan dimatikan sarafnya. Nama-nama pemimpin besar dan kawakan Papua yang menjadi korban di antaranya Yap Salosa, Theys Eluai, Agus Alua, Nataniel Badi, Wospakrik, Willem Mandowen, Pdt Awom, Abraham Ataruri, Jhon Rumbiak, Cosmas Pigai, Thom Beanal, dan Lukas Enembe.
Di sisi lain, rakyat Papua ditangkapi, dianiaya, disiksa, dibunuh saban hari tanpa henti.
"Sudah lebih dari ratusan ribu orang Papua mati sia-sia di atas tanah airnya sendiri, Tanah Papua, bumi Melanesia," tegasnya.
Ia mengakui kalau saat ini Tanah Papua sedang dalam goncangan besar karena adanya tsunami kemanusiaan. Jutaan rakyat di tanah Papua, baik yang bermukim di lepas pantai, pesisir, pedalaman, dan pegunungan, menjerit, merintih dan , sedih menangis karena saban hari hanya bisa mendengar nyanyian dengan syair elegi, karena tragedi kemanusiaan yang menimpa rakyat melanesia di Tanah Papua semakin lama semakin menua.
"Tidak ada legasi yang kita peroleh di negeri ini. Penuh diskriminasi, rasisme, orang Papua masih dianggap manusia jaman batu ( the stone age periode society). Belum lagi perampasan kekayaan alam, baik berupa penebangan pohon-pohon di hutan yang merupakan parau-paru Papua (illegal loging); penjarahan emas, perak, minyak, uranium dan plutonium (illegal maining); dan pencurian ikan-ikan serta biota laut (illegal fisihing)," paparnya.
Ia mengingatkan, orang Melanesia tidak pernah mengenal kejahatan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), namun hari ini tikus-tikus berdasi merasuki sendi-sendi kehidupan politik dan pemerintah tanah Papua.
Adanya penetrasi kapitalisme disertai penetrasi sipil dan militer, mengesampingkan bumi putra Papua. Melanesia tersingkir karena tercipta segresi antara lokal Papua (blue colar) dengan asing dan migran sebagai white colar melalui diskriminasi dan rasisme.
Penetrasi sipil juga menyebabkan mereka menguasai sumber daya ekonomi di bandar-bandar seperti Sorong, Manokwari, Biak, Serui, Nabire, Timika, Jayapura, Merauke dan Wamena, sementara putra bangsa Melanesia tersingkir di pinggiran.
"Tingginya kematian ibu dan anak serta perlambatan pertumbuhan penduduk Papua adalah indikasi nyata secara perlahan sedang terjadi bahaya genosida (Slow motion genocida). Itulah kejahatan kemanusiaan yang terabaikan dan Papua menjadi wilayah tragedi terlupa di abad ini," tegasnya.
Pigai pun menyatakan, hari ini, atas nama rakyat Papua, ia meminta Jokowi jangan menjadi calon presiden di 2019 karena kondisi di Papua akan sama saja, bahkan akan menambah "tenteram kematian" rakyat Papua.
Untuk diketahui, sebelumnya sejumlah media mainstream, termasuk Kompas, memberitakan, sebanyak 24 anak meninggal akibat kejadian luar biasa campak disertai gizi buruk di Kabupaten Asmat, Papua, dalam empat bulan terakhir. Jumlah korban bisa bertambah karena Pemerintah Kabupaten Asmat masih melakukan pendataan.
Di Rumah Sakit Agats, ibu kota Kabupaten Asmat, Jumat (12/1/2018), terdapat 12 anak berusia di bawah lima tahun (balita) dirawat. Tubuh mereka kurus dengan kondisi kesehatan belum stabil. Salah satu di antara mereka adalah Theresia Bewer (4), bocah asal Kampung Beritem, Distrik Agats. Berat badan Theresia cuma 10 kilogram. Ia terserang campak disertai radang paru-paru.
Pihak rumah sakit berupaya optimal merawat anak-anak itu, antara lain dengan memberikan makanan tambahan berupa biskuit khusus anak dan susu. Pasien juga mendapatkan cairan infus dan oksigen.
Kondisi dan jumlah tempat tidur memadai. Ada tiga bangsal dan dua ruangan khusus untuk merawat pasien. Di setiap bangsal terdapat dua hingga tiga pasien. Adapun ruang khusus, yakni VIP dan HCU (high care unit), dihuni empat anak yang kondisi kesehatannya belum stabil.
Data 24 korban meninggal akibat kejadian luar biasa (KLB) campak dan gizi buruk dihimpun dari laporan tokoh agama di Asmat dan tenaga medis RS Agats.
Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Kabupaten Asmat Steven Langi mengatakan, ke-12 anak yang dirawat di RS Agats itu menderita campak dan gizi buruk serta penyakit lain, seperti tuberkulosis, radang paru-paru, dan malaria.
”Ada tiga anak yang terkena campak dan gizi buruk telah pulang dari rumah sakit,” ujarnya.
Ada lima distrik di pedalaman yang terserang campak dan gizi buruk, yakni Swator, Fayit, Pulau Tiga, Jetsy, dan Siret. Empat tim telah dikirim Pemkab Asmat ke lima distrik itu sejak Selasa (9/1/2018). Selain memberikan bantuan pengobatan dan makanan, tim juga mendata jumlah korban.
Kepala Bidang Pencegahan Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan Papua Aaron Rumainum mengatakan, KLB campak terjadi di Asmat sejak Oktober 2017. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Asmat, sejak Oktober 2017 hingga Januari 2018, tercatat 171 anak dirawat inap dan 393 anak dirawat jalan di RS Agats karena terkena campak. (rhm)