Jakarta, Harian Umum- Penghasilan merupakan salah satu faktor terpenting bagi setiap orang. Jika penghasilan meningkat, kesejahteraan akan mengikuti. Bagaimana jika menurun?
Inilah yang sedang dirisaukan ratusan pegawai tetap non PNS di Unit Pengelola (UP) Perparkiran DKI Jakarta. Dalam kurun waktu dua tahun terakhir uang remunerasi mereka sudah dipangkas dua kali akibat persoalan yang sesungguhnya lebih melekat pada institusi, bukan pada pribadi mereka.
Pemotongan pertama terjadi pada 15 Oktober-15 Desember 2017, dan kedua pada 18 Juli 2018 lalu.
"Kalau tidak ada perubahan pada jajaran elit UP, tidak mustahil ke depan pemotongan akan terjadi lagi," keluh Ragil, salah satu pegawai UP Perparkiran, kepada harianumum.com di Jakarta, Kamis (26/7/2018) petang.
Data yang dihimpun menyebutkan, pemotongan pertama terjadi akibat adanya temuan BPK yang dianggap berpotensi merugikan keuangan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) itu sebesar Rp1,8 miliar.
Temuan ini disebabkan dua hal, yakni kerugian yang dialami UP Perparkiran dalam mengelola 35 titik parkir milik PD Pasar Jaya, dan akibat penerapan sistem Terminal Parkir Elektronik (TPE) yang merugi.
"Ada 278 pegawai tetap non PNS yang uang remunerasinya waktu itu dipotong dengan total mencapai Rp1,6 triliun," jelas Ragil.
Ke-278 pegawai itu terdiri dari staf dan kordinator lapangan yang uang remunerasinya dipotong Rp2 juta/orang, dan asisten manajer serta manajer operasional yang remunerasinya dipotong antara Rp2 juta hingga Rp6 juta/orang.
Pengamat Kebijakan Publik A!ir Hamzah menilai, pemotongan ini tidak memiliki dasar hukum karena tidak diatur dalam SK Gubernur Nomor 916 Tahun 2013 yang menetapkan UP Perparkiran sebagai Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), dan juga tidak diatur dalam SK Gubernur Nomor 531 Tahun 1979 tentang Pertanggungjawaban kepada Gubernur dan Sekretaris Daerah yang menjadi acuan sistem kerja UP.
"Justru SK Gubernur Nomor 916 mengatur bahwa pegawai UP yang terdiri dari PNS dan non PNS itu setiap bulan tidak hanya menerima gaji, tapi juga remunerasi," katanya, Selasa (24/7/2018).
Selain hal tersebut, menurut ketua Budgeting Mertopolitan Watch (BMW) ini, temuan BPK tersebut terkait dengan kinerja UP Perparkiran sebagai Unit Kerja Perangkat Daerah (UKPD), bukan kinerja pegawai orang per orang.
"Pemotongan ini justru menunjukkan kalau kepala UP Perparkiran (Tiodor Sianturi) cuci tangan dan tak mau disalahkan. Padahal sebagai pimpinan, kepala UP lah yang paling bertanggung jawab atas temuan itu," katanya.
Pada 18 Juli 2018, pemotongan remunerasi dilakukan karena pemasukan pada Juni 2018 anjlok akibat momen Ramadhan dan libur panjang Hari Raya Idul Fitri.
"Anjloknya pemasukan ini dianggap berpotensi menjadi temuan BPK, sehingga harus diganti oleh pegawai," jelas Ragil.
Padahal, kata dia, dari target pemasukan sebesar Rp111 miliar untuk 2018 ini, pada awal Januari sudah terealisasi Rp107 miliar dan pada Mei telah tembus Rp115 miliar. Tapi prestasi ini rupanya sama sekali tidak dihargai Kepala UP Perparkiran Tiodor Sianturi, dan hanya dianggap angin lalu.
Seperti halnya pada 2017, kali ini pun remunerasi staf dan kordinator lapangan dipotong Rp2 juta/orang, dan remunerasi asisten manajer serta manajer operasional dipotong antara Rp2 juta hingga Rp6 juta/orang.
"Jumlah pegawai tetap non PNS pada pemotongan kedua ini 190 orang karena ada pegawai yang sudah memasuki masa pensiun dan ada yang meninggal dunia," jelas Ragil lagi.
Remunerasi adalah total kompensasi yang diterima pegawai sebagai imbalan atas jasa yang dikerjakannya. Tunjangan ini setara dengan TKD (Tunjangan Kerja Daerah) bagi PNS yang bertugas di Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) seperti di dinas, badan dan biro.
Menurut Ragil, besaran remunerasi ini beragam, tergantung posisi di UP Perparkiran. Untuk staf dan Korlap, remunerasi yang diberikan sekitar Rp5.500/orang, sementara untuk asisten manajer Rp9,8 juta/orang dan manajer operasional Rp17 juta/orang.
Gaji pokok plus tunjangan beras untuk anak dan istri sekitar Rp3,6 juta - Rp5 juta.
Ragil mengakui, akibat pemotongan itu semua pegawai mengalami guncangan keuangan, sehingga tak sedikit yang terpaksa utang sana-sini untuk menutupi kebutuhan, termasuk untuk membayar sewa rumah bagi yang masih mengontrak.
"Pegawai tetap non PNS di UP Perparkiran rata-rata sudah berkeluarga dengan anak rata-rata dua. Usia mayoritas 49-53 tahun. Jadi, bisa dibayangkan besarnya kebutuhan karena di antara kami kebanyakan memiliki anak yang masih sekolah dan kuliah. Belum lagi karena saat ini semua kebutuhan sangat mahal. Harga BBM pun naik lagi kemarin," jelas Korlap Parkir di kawasan Jakarta Selatan ini.
Aspirasi yang saat ini berkembang di kalangan pegawai UP Perparkiran adalah Gubermur Anies Baswedan segera mengganti Tiodor dengan sosok yang lebih manusiawi, punya integritas, bertanggung jawab, dan tidak sewenang-wenang, karena semua yang saat ini terjadi di UP Perparkiran membuat Tiodor menjadi sosok yang sangat tidak disukai. Apalagi karena pimpinan UP ini selama tiga tahun tidak mengucurkan dana untuk pembelian seragam bagi 2.600 juru parkir, sehingga para juru parkir tersebut terpaksa membeli seragam dari kordinator lapangannya masing-masing dengan cara dicicil.
"Semoga Pak Gubernur mendengar aspirasi kami," harap Ragil. (rhm)