Jakarta, Harian Umum - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan wakilnya, Sandiaga Uno, disarankan untuk segera cuci gudang karena ada gejala penggembosan dari dalam yang dilakukan oleh para pejabat pendukung Ahok-Djarot.
"Kalau cuci gudang nggak segera dilakukan, kinerja pemerintahan Anies-Sandi bisa lebih parah dari Ahok-Djarot, karena para pejabat itu bisa saja melakukan pembangkangan dan tidak maksimal dalam melaksanakan program-program Anies-Sandi," ujar Ketua Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) Rico Sinaga kepada harianumum.com via telepon, Sabtu (21/10/2017).
Rico menambahkan, para pejabat yang ia maksud adalah pejabat-pejabat yang begitu mudah naik jabatan di era pemerintahan setelah Fauzi Bowo atau era Jakarta dipimpin Gubernur Joko Widodo (Jokowi), Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan Gubernur Djarot Saiful Hidayat dalam rentang masa jabatan periode 2012-2017.
Jumlah pejabat ini luar biasa banyak dan tersebar di semua Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan BUMD karena selama menjabat sebagai gubernur, Ahok berkali-kali melakukan reposisi terhadap ratusan, bahkan ribuan pejabat. Sementra Djarot mereposisi 90 jabatan hanya dalam empat bulan menjabat sebagai gubernur.
Rico menegaskan, loyalitas orang-orang itu kepada Jokowi, Ahok dan Djarot, sudah terlihat sejak KPU DKI mengumumkan calon-calon peserta Pilkada DKI 2017 yang terdiri dari pasangan Ahok-Djarot, Agus-Sylvi dan Anies-Sandi, dan semakin nyata saat kampanye berlangsung, sehingga ada BUMD yang terlibat money politic bersama Ahok-Djarot.
"Ini tentu saja salah, karena seharusnya PNS mengabdi pada sistem dan tugas serta fungsinya, bukan pada pribadi. Apalagi dengan level yang terlalu tinggi," imbuhnya.
Pegiat LSM senior ini mengakui, akibat salah mengabdi tersebut, maka begitu KPU DKI mengumumkan kemenangan Anies-Sandi pada putaran II Pilkada, para pejabat loyalis Jokowi, Ahok dan Djarot itu panik dan ketakutan. Apalagi mereka yang sepanjang kepemimpinan ketiga gubernur itu karirnya sangat gampang menanjak.
"Orang-orang ini kemudian membentuk kelompok karena mungkin mereka berpikir, kalau karir mereka akan dijatuhkan, maka Anies-Sandi juga harus jatuh," imbuh Rico.
Diakui, saat Jokowi dan Ahok memimpin, reposisi dilakukan dengan sistem lelang jabatan, sementara di era Djarot menggunakan sistem talent scouting sesuai amanat UU ASN. Namun hasil sistem-sistem itu terbukti tidak mampu memenuhi prinsip right man on the right place, karena banyak pejabat yang ditempatkan pada bidang yg tidak didukung latar belakang pendidikannya, banyak yang belum berpengalaman di bidang dimana dia ditempatkan, dan bahkan ada yang tidak lolos seleksi, namun tetap dipromosikan untuk jabatan tertentu.
"Ini menunjukkan kalau sistem yang dipakai hanyalah formalitas, karena sesungguhnya ada praktik kroniisme dan lebih kental kepentingan politisnya," imbuh dia.
Sesuai peraturan perundang-undangan, Anies-Sandi hanya dapat melakukan reposisi setelah enam bulan menjabat sebagai gubernur dan wagub. Terkait hal ini, Rico mengatakan kalau Anies-Sandi dapat melakukan diskresi seperti yang pernah dilakukan Ahok.
"Diskresi itu kan kebijakan yang dibuat karena memang dibutuhkan dan dalam situasi emergency," tegas dia.
Data yang diperoleh harianumum.com menyebutkan, kegagalan sistem lelang jabatan dan talent scouting dalam memenuhi prinsip right man on the right place terindikasi dari adanya dokter gigi dan insinyur pertambangan yang diangkat menjadi camat, apoteker yang diangkat menjadi Kasubag TU di sebuah SMK, dan dokter hewan yang diangkat menjadi kepala Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di sebuah kelurahan.
Sementara PNS yang tak lulus seleksi ada yang diangkat menjadi sekretaris kotamadya (Sekko).
Rico berharap di era Anies-Sandi kebijakan reposisi dikembalikan ke Baperjakat seperti di era Fauzi Bowo, Sutiyoso dan gubernur-gubernur Jakarta sebelumnya.
"Kalau sistem itu ternyata tak baik, mengapa pula diteruskan? Apalagi karena talent scouting yang mengacu pada UU ASN belum ada peraturan pemerintah (PP)-nya, apalagi Perdanya," tegas Rico.
Hal buruk lain dari sistem lelang jabatan dan talent scouting adalah terjadinya gesekan antara pejabat yang dioromosikan dengan yang tidak lulus seleksi, bahkan mengalami down grade, sehingga kinerja birokrasi di lingkungan Pemprov DKI menjadi kurang sehat.
Pejabat-pejabat yang lebih dulu direposisi, tegas Rico, adalah eselon II yang menjabat sebagai kepala dinas dan jabatan lain yang setingkat, setelah itu menyusul pejabat eselon III dan IV.
"Kalau pejabat eselon I yang menduduki jabatan sekda, sebaiknya dibiarkan dulu, karena kewenangan dia ada di presiden," pungkas Rico. (rhm)